Sengkon dan karta adalah petani yang berasal dari Bojongsari, Bekasi. Pada tahun 1977 mereka dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan atas suami isteri Sulaiman yang terjadi pada tahun 1974 sehingga Sengkon kemudian divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Mereka tidak melakukan kasasi, sehingga perkara mereka kemudian berkekuatan hukum tetap dan mereka mulai menjalani masa penahanan di LP Cipinang.
Di dalam LP Cipinang akhirnya persoalan mulai terkuak. Salah seorang penghuni LP yang bernama Genul, yang tiba tiba mengaku sendiri melakukan pembunuhan dan perampokan suami isteri Sulaiman pada tahun 1974 dan atas pengakuannya sendiri si Gunel akhirnya divonis 10 tahun.
Sengkon dan Karta awalnya tidak mau menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena mereka merasa tidak melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan. Tetapi karena tidak tahan terhadap siksaan yang dialami akhirnya mereka pun menyerah dan mau menandatangani BAP. Bahwa kemudian muncul pengakuan dari Genul, pelaku yang sebenarnya sehingga kemudian dia divonis 10 tahun penjara tidak serta merta membuat Sengkon dan Karta langsung menghirup udara bebas. Beruntung ada Albert Hasibuan, seorang pengacara dan anggota Dewan yang peduli dan gigih memperjuangkan nasib mereka, sehingga pada tahun 1981 mereka dapat menghirup udara bebas.
Setelah bebas, Sengkon dan Karta berusaha menuntut ganti rugi atas kesewenang sewenangan aparat penegak hukum yang dilakukan sehingga mereka harus berdiam di balik jeruji besi atas tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan sama sekali. Selama menjalani penjara Sengkon terkena TBC yang menyebabkan kondisi kesehatannya terus menerus pada saat dia bebas. Demikian juga Karta, rumah dan tanahnya seluas 6000 meter persegi habis terjual untuk membiayai perkaranya. Mereka berdua menggugat 100 juta atas tindakan para penegak hukum yang menyebabkan kerugian materiill maupun morill yang diderita mereka. Tetapi tuntutan ganti rugi mereka mentah, ditolak dgn alasan adminsitratif. Penderitaan mereka terus berlanjut. Keluarga kocar kacir, kesehatan Sengkon terus menurun akibat TBC yang diderita dan tidak lama kemudian Karta juga tewas karena kecelakaan. Tidak berapa lama Sengkon juga menyusul Karta karena kondisi kesehatannya yang terus memburuk.
25 Tahun kemudian, singkat cerita tragedi Sengkon Karta kembali terulang. Adalah Risman Lakoro dan Rostin Mahaji di Gorontalo yang pada tahun 2002 divonis 3 tahun atas tuduhan melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan meninggalnya anak gadisnya yang bernama Alta Lakoro dan mereka sudah menjalani masa tahanannya. Akan tetapi pada hari rabu, tanggal 26 Juni 2007, anak gadisnya yang dianggap sudah meninggal akibat dianiaya oleh mereka tiba tiba muncul dan ternyata masih hidup. Singkat cerita mereka terpaksa mengaku sebagai pelaku penganiayaan karena tidak tahan siksaan yang dialami selama diperiksa di kepolisian dan hak hak mereka sebagai terdakwa untuk di dampingi penasihat hukum selama persidangan secara cuma cuma juga tidak diberikan (sumber : Antara News, selasa 10 Juli 2007)
Belajar dari kisah Sengkon – Karta dan Risman – Rostin tentunya kita mengelus dada terhadap kerja aparat penegak hukum. Bahwa 2 (dua) peristiwa tersebut adalah contoh nyata bentuk peradilan sesat yang terjadi. Peradilan sesat yang tidak mengindahkan kebenaran sesungguhnya. Peradilan yang melukai rasa keadilan dan hak asasi. Peradilan yang tidak jujur dan tidak bersih. Hukum sebagai panglima tertinggi yang seyogyanya dikonkretkan melalui lembaga peradilan dalam mewujudkan rasa keadilan belum sepenuhnya terwujud. Kinerja aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman (criminal justice system) masih jauh dari harapan. Kebenaran materill (kebenaran sesungguhnya) yang harus benar benar dicari dalam peradilan pidana hanya teori yang di dapatkan mahasiswa hukum pada waktu mereka duduk di bangku kuliah. Menjadi rahasia umum, seperti dalam perkara korupsi misalnya, seringkali yang diumpankan hanya kroco kroconya, sementara aktor aktor intelektualnya masih bisa melenggang bebas tanpa tersentuh hukum.
Walaupun demikian, kita tidak boleh pesimis dalam melihat kondisi hukum saat ini dan ke depan. Perbaikan mentalitas para aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman yang terus dilakukan semoga menjadi solusi terhadap peningkatan profesionalisme. Penegakan aturan aturan hukum harus benar benar dilaksanakan tanpa kompromi dan pandang bulu . Equality before the law harus diterapkan . Kontrol pengawasan dari masyarakat dan juga pers harus berjalan. Tidak ada keniscayaan kalau semua hal tersebut dilaksanakan dapat membawa perubahan kondisi hukum dan menciptakan rasa adil dan kepastian hukum.
“the law is the public conscience”
Hukum adalah hati nurani publik
THOMAS HOBBES
N Ageng Wicaksono S.H.