Cerpen: Pensil Kajoe
Sudah berbagai macam pengobatan dilakukan, tetapi tampaknya penyakit yang diderita tak kunjung sembuh. Hampir satu setengah tahun Suman harus mengonsumsi obat-obatan hanya untuk menyambung hidupnya saja.
“Ma, tolong jangan bicara seperti itu. Kau tahu kan, kondisiku seperti apa sekarang?” Saban hari laki-laki itu harus bersitegang dengan istrinya hanya gegara masalah sepele.
Sejak diberhentikan dari pekerjaan, Suman benar-benar tak punya wibawa di depan perempuan yang dulu pernah menjadi teman sekantor.
“Harusnya kau itu bersyukur bisa menikah denganku. Tetapi apa yang telah kau lakukan tak menunjukan sikap berterima kasih sedikit pun.”
Istrinya selalu mengungkit-ungkit apa yang pernah dilakukannya dulu, dia menganggap keputusannya resign dari kantor agar Suman bisa tetap bekerja di tempat itu. Peraturan di kantor tempat keduanya bekerja memang tak membolehkan sepasang suami istri bekerja satu atap.
Suman hanya memandang istrinya berjalan ke luar kamar. Dia seolah tak lagi punya daya mencegah atau sekadar bertanya pada istrinya akan ke mana dan ada urusan apa di luar sana.
“Kecantikan memang tak selalu menyenangan,” Suman menggumam lirih sambil memandang foto pengantinnya.
Dulu, Suman menjadi laki-laki paling beruntung, sebab dari sekian banyak teman laki-lakinya hanya dia yang bisa mencuri hati Listiana. Keduanya sering kepergok sedang curi-curi pandang.
“Wah… selamat, selamat. Ternyata pangeran tampan satu ini berhasil mempersunting putri nan cantik jelita,” seloroh salah satu rekan kerjanya disambut tepukan tangan teman-teman lainnya.
Tangan Suman membolak-balik album foto kenangannya, dari awal perkenalan dengan Listiana hingga foto-foto saat keduanya berbulan madu. Gambar-gambar tersebut menjadi sejarah manis dalam hidupnya. Dia tak menyangka kalau pada akhirnya apa yang telah dirajutnya harus terkoyak di tengah jalan.
Hampir jam dua belas malam, Suman merasakan dadanya sakit luar biasa. Tangannya menggapai-gapai meja kecil di sampingnya untuk mencari obat, namun dia hanya mendapati botol kosong bekas obat. Istrinya pun tak ada di sebelahnya.
Jari telunjuk Suman bergerak-gerak di layar ponselnya, dia mencoba menghubungi Listiana namun hasilnya nihil; Istrinya tak bisa dihubungi.
***
“Man, apa kau sudah mantap dengan keputusanmu menikah dengan Ana? Kita semua tahu kan watak dia seperti apa?”
“Apa salahnya aku menikahinya? Kalian tak perlu mengatur hidupku. Bilang saja kalau kalian iri denganku, iya kan?”
Suman memang laki-laki keras kepala, dia bertekad tetap menikahi seorang perempuan teman sekantornya.
Perempuan yang baru bekerja satu setengah tahun itu membuatnya bertekuk lutut.
“Kalau aku menyesal dengan keputusanku dulu, itu artinya janji yang kuucap di hadapan penghulu itu sia-sia.” Suman berusaha menenangkan diri dan tak ingin menyalahkan siapa pun.
Menikahi Listiana karena memang dia benar-benar mencintainya, perkara perempuan yang telah menjadi istrinya itu kini abai pada kondisinya itu di luar ekspektasinya. Tak ada seorang pun yang ingin rumah tangganya rusak.
Sebagai seorang suami memang sudah seharusnya menjadi tulang punggung keluarga. Tapi, apa yang kulakukan sekarang? Batin laki-laki yang dulu bak aktor film Bollywood, kini tubuhnya tirus.
***
Sebuah mobil Jeep berhenti tepat di depan rumah, tampak seorang perempuan turun dari dalam diikuti oleh laki-laki berkacamata hitam.
“Ana? Pulang dengan siapa dia?”
Suman melihat dari balik gorden jendela rumahnya.
Tanpa salam, Listiana langsung menerobos masuk.
“Ini, Pa. kenalkan Bos aku. Sekarang aku bekerja di tempatnya,” ujar istrinya pada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya.
Tampak laki-laki itu tersenyum pada Suman seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Namun, Suman tetap bergeming.
“Aku kerja karena Papa sekarang sudah tidak bisa diandalkan. Papa tak berhak mengatur apa pun yang Mama lakukan, mengerti?!” bisik Listiana di telinga Suman.
Suman seolah hanya menjadi seorang figuran dalam rumah tangganya. Semua kendali pindah ke tangan istrinya. Apa pun kemauan istrinya tak boleh dilarang. Sebab perempuan itu merasa berada di atas angin.
“Papa jangan bikin malu Mama di depan boss,” sambung Listiana sambil mencubit pinggang suaminya.
Suman hanya tersenyum.
“Oh ya, satu lagi, Pa. Ini Mama sudah belikan obat untuk sakitmu yang tak kunjung sembuh itu.”
Suman merasa sedang dipermalukan di depan laki-laki lain. Laki-laki yang terlihat lebih kekar dan mapan. Suara-suara teman-temannya terdengar riuh di telinga. Suara yang menyudutkan, suara yang menertawakan, namun ada juga suara yang turut berempati dengan keadaannya.
Pil yang dibelikan istrinya tak disentuh, diletakan begitu saja di atas meja.“Untuk apa aku minum pil ini kalau hanya agar bisa melihat istriku bersama laki-laki lain?”Wajah pucat Suman memerah, diraihnya plastik pembungkus obat dan diempaskannya ke lantai.
Romantisme yang pernah dia susun ibarat sinetron, sebatas fatamorgana.
“Hahaha… aku masih lebih beruntung dari pria itu. Kasihan dia hanya menjadi tempat pelarian saja, coba kalau kondisiku tak seperti ini mana mungkin Listiana akan lari dariku.” Suman mencoba menghibur diri dengan harapan tipis, istrinya mau kembali padanya.
Sejak sore itu, Listiana tak tampak gerai rambutnya, bau tubuh yang membuat Suman gandrung tak lagi tercium. Listiana telah mempunyai keasyikan sendiri bersama teman barunya yang lebih bisa memberikan kesenangan.
Tumiyang, Pekuncen, 30 Oktober 2019
PENSIL KAJOE, lahir dan besar di Banyumas. Cerpen dan puisinya sudah tersebar di koran regional maupun nasional. Membukukan 19 buku tunggal dan lebih urang 40 antologi bersama. Saat ini menjadi kolumnis Banyumasan di majalah Djaka Lodang, Yogyakarta.
FB: Pensil Kajoe II | IG: @pensilkajoe