(restorative Justice; antara kepastian hukum dan rasa keadilan)
Oleh : Anang Supratikno, SH
Masih ingat Nenek Minah Darmakradenan?
Tahun 2009 silam seorang nenek harus di hadapkan ke pengadilan karena didakwa mencuri 3 biji kakao PT Rumpun Sari Antan, dalam persidangan nenek Minah (55 tahun) dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian, dan diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan, Ironi seperti ini beberapa kali terjadi ditempat lain di Indonesia, kakek Samirin di Sumatera Utara divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari karena mengambil getah seberat 1,9 kilogram PT Brigestone, nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur yang di vonis 15 tahun penjara karena menebang jati, Nenek Saulia divonis hukuman 1 bulan 14 hari karena menebang pohon durian.
Kejadian – kejadian diatas tentunya sudah cukup sebagai contoh lemahnya sistem hukum pidana di Indonesia dalam memenuhi rasa keadilan, tapi hukum adalah hukum, harus berprinsip pada “keadilan prosedural” untuk menjamin kepastian hukum dengan mengacu pada bunyi undang – undang, sehingga kadang kala penerapaannya kurang memenuhi “keadilan substantif” yang mengacu pada rasa keadilan masyarakat.
Keadilan Prosedural didasarkan pada azas legalitas, artinya tidak ada hukuman (pidana) tanpa didasari aturan perundang – undangan yang berlaku, Azas Legalitas ini adalah jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batasan – batasan aktivitas apa yang dilarang, disisi lain, hukum adalah perangkat untuk mewujudkan keadilan sosial, sehingga sangat penting hukum dalam penegakannya harus memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Perdebatan mengenai kepastian hukum dan rasa keadilan dalam praktik penegakan hukum Pidana di Indonesia tampaknya masih akan berlangsung dan masih akan berputar pada pusaran yang sama.
Hukum sebagai norma yang mengatur masyarakat tentunya tidak bisa statis, karena kondisi masyarakat sangat dinamis, Hukum harus selalu mengikuti perkembangan jaman, paradigma – paradigma baru dalam masyarakat, karena sangat penting agar penegakan hukum pidana memehuhi rasa keadilan substantif, baik bagi pelaku maupun korban
Paradigma Restorative Justice belakangan ini sering sering muncul sebagai model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Mahkamah Agung menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana, untuk upaya pemulihan korban. Aspek pemulihan korban menjadi penting dalam penyelesaian perkara pidana, senada dengan itu, Kepolisian Republik Indonesia, baru – baru ini menerbitkan Surat Edaran Kapolri, yang memerintahkan penyidik memiliki prinsip, bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum, dan selalu mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara, dengan lebih memperhatikan pemulihan korban dan rasa keadilan, ini harapan baru dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.