
“Kami mendampingi mereka semampu dan sesuai kapasitas kami,” kata Mukhayat.
Banyak kalangan yang bertanya-tanya, apakah dalam kasus korupsi dana bantuan Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sebesar Rp 2.120.000.000 di Banyumas hanya berakhir pada dua tersangka, atau akan muncul tersangka lain. Sembari menunggu Kejaksaan Negeri Purwokerto menjakankan tugasnya, sejumlah advokat di Banyumas pun menyatakan siap untuk mendampingi mereka yang bisa saja menjadi korban dari perbuatan biadab yang hingga kini baru memunculkan dua tersangka, yakni MT (37) dan AM (26) warga Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok.
“Kami siap jika diminta mendampingi warga Sokawera yang dijadikan sebagai ketua kelompok usaha, hal ini pun sudah saya komunikasikan dengan kepala desa setempat,” kata Ketua DPC AAI Banyumas, N Ageng Wicaksono SH.
Ageng, yang akrab disapa Hanny menyatakan, asosiasinya siap mengerahkan 10 lawyer jika memang dibutuhkan untuk mendampingi para warga desa apabila sampai dijadikan sebagai korban dari ketidaktahuan mereka.
“Jika saya mendengar apa yang terjadi, sungguh miris. Mereka hanya dimanfaatkan bahkan tanpa ada bentuk terimakasih,” kata Hanny.

Anang : Kasus JPS Sokawera Adalah extraordinary crime
Rekan Hanny, Anang Pratikno SH menambahkan korupsi merupakan extraordinary crime. Extra Ordinary Crime, merujuk pada pengertian dalam istilah hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghilangkan hak asasi umat manusia lain dan telah disepakati secara internasional sebagai pelanggaran HAM berat. Namun dalam konteks persoalan yang terjadi dalam kasus korupsi dana JPS ini merupakan bentuk kejahatan luar biasa.
“Dan biasanya melibatkan orang – orang kuat dan berkuasa, menurut saya ini merupakan kejahatan yang luar biasa dan memenuhi unsur sebagai extraordinary crime, apalagi dilakukan di saat kondisi pandemik covid,” kata Anang.
Anang yang juga punya kelompok advokat pembela rakyat yang dinamai Independen Banyumas ini mendesak agar aparat penegak hukum harus bisa membuktikan bahwa dalam penanganan kasus ini dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
“Kasus korupsi JPS ini adalah satu dari sekian PR kasus hukum yang diharapkan bisa ditangani sampai tuntas ke aktor utamanya. Jangan berhenti pada operator di lapangan,” tegas Anang.
Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto awalnya menyita Rp 470 juta dari hasil penggeledahan kasus dugaan korupsi program Jaring Pengamanan Sosial (JPS) dari Kementerian Ketenagakerjaan RI di wilayah Kabupaten Banyumas. Angka itu terus bertambah, dimulai dari nominal Rp 200 Juta lalu menjadi Rp. 1.920.000.000 dan paling akhir disebutkan Rp. 2.120.000.000.
Jumlah itu cukup besar. Tapi, sejatinya bukan perkara besar kecil duit negara yang diembat para pelaku korupsi. Di tengah situasi ekonomi yang sedang terguncang akibat pandemi, perbuatan ini dinilai tak beradab karena harus mengorbankan orang lain demi memenuhi syahwat mereka.
“Besar atau kecil, korupsi tetap merupakan kejahatan yang tak beradab. Apalagi sekarang, ketika masyarakat sedang berjuang keras bahkan hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Mari kita kawal kasus ini, sampai tuntas ke akarnya,” tegas Hanny.
Kepala Desa Sokawera, Mukhayat, juga dilanda kegalauan. Ada 14 warganya yang nasibnya belum jelas. Mereka juga ikut dipanggil sebagai saksi dalam perkara kasus korupsi dana JPS Kemenaker, sebagai ketua kelompok usaha.
“Kami mendampingi mereka semampu dan sesuai kapasitas kami,” kata Mukhayat.
Tim Kejari Purwokerto dalam mengungkap kasus tersebut mengamankan 38 stempel kelompok dari total 48 kelompok usaha, satu unit komputer, dan beberapa dokumen perjanjian kerja sama antara 48 kelompok dan Direktorat Pengembangan dan Perluasan Kerja pada Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Bina Penta dan PKK) Kemnaker RI.
Dari 48 kelompok tersebut, 14 kelompok berasal dari Desa Sokawera. Mukhayat mengatakan, dirinya memang mengesahkan adanya kelompok usaha ketika ke-14 kelompok tersebut mengajukan permohonan legalitas.
“Sebagai kepala desa saya mendukung masyarakat yang ingin maju dengan membentuk kelompok usaha, sehingga ketika mereka mengajukan permohonan untuk pengesahan sebagai syarat pengajuan bantuan maka saya langsung setuju. Apalagi, selama ini kelompok usaha di desa kami tak pernah memperoleh bantuan,” ungkapnya.
Mukhayat juga mengetahui program dari Kemenaker yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pembangunan green house melon di desanya.
“Karena saat itu apa yang disampaikan oleh anggota dewan, yaitu Bu Erma, sangat baik. Tapi terkait dengan pola penyaluran sampai proses teknisnya saya tidak mengetahui. Saya selesai pada pengesahan permohonan legalitas kelompok usaha,” katanya.
Awal kasus terungkap sebagaimana diberitakan berbagai media massa, pada 9 Maret 2021 Kejari Purwokerto melakukan penggeledahan di rumah AM, warga Desa Sokawera, dan berhasil menyita uang sebesar Rp 470 juta. Selanjutnya, dalam proses penanganan kasus tersebut, nominal yang terungkap kini menjadi Rp. 2.120.000.000. AM dan rekannya MT akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyelewangan dana JPS dari Ditjen Bina Penta dan PKK Kemenaker RI.
Total bantuan dari Ditjen Bina Penta dan PKK Kemenaker RI untuk 48 kelompok itu mencapai Rp1,920 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Rakyat Indonesia (BRI) milik kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan bantuan Rp 40 juta.
Nah, saat masing-masing perwakilan kelompok menarik uang tersebut pada tanggal 1 Desember 2020, seseorang telah menunggu di luar kantor BRI. Lalu, saat perwakilan kelompok itu keluar dari bank, orang tersebut meminta seluruh uang yang mereka tarik, total sebanyak Rp. 1.920.000.000.
Oleh: Angga dan Nisa.
ISTIMEWA