Hutang Rasa
Jika kita baca dongeng Yunani dan kitab-kitab suci, manusia adalah teladan, amat dekat dengan yang maha akbar. Menurut Homeros, para dewa ikut sibuk intervensi dan memihak dalam Perang Troya — seperti penghuni negeri tetangga.
Di zaman sesudah itu, di abad ke-16, Michelangelo melukis manusia dan Tuhan begitu akrab di langit-langit Kapela Sistina di Vatikan: Tuhan mirip lelaki tua yang ganteng dengan lengan berotot menjangkau Adam. Bahkan karya itu mengandung cerita lebih. “Neurosurgery”, sebuah jurnal ilmiah, dalam nomor Mei 2010 memuat hasil penelaahan dua pakar anatomi syaraf yang menemukan bahwa Michelangelo melukiskan sel otak dan syaraf mata manusia dalam gambar tubuh Tuhan.
Keyakinan akan kehebatan itu tak terbatas di Eropa. Di Jawa abad ke-18, Yasadipura I menulis “Serat Cabolek” tentang perjalanan Bhima yang berhasil menemui Dewa Ruci di tengah lautan. Kesimpulannya: manusia “tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dhéwé saking kang dumadi…” (manusia ditakdirkan lebih dari semua makhluk). Dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, Pramoedya Ananta Toer meneruskan keyakinan yang sama: baginya, manusia, dengan ilmu dan teknologinya, “lebih agung” ketimbang sekitarnya.
Visualisasi dan aneka penggambaran tentang manusia sungguh luar biasa.
Keluarbiasaannya itu yang kemudian menjadi arogan. Lupa Sangkan paraning dumadi. Benar, besar, menang. Termasuk ketika berhubungan dengan alam dan lingkungannya. “Mengaku” kecil kepada penciptanya, tapi kerap hanya lips service. Hamung lamis. Bagaimana dia bisa mengakui kemahaan sang pencipta, sementara dia lupa menghargai segala yang dicipta.
Mudah mengaku salah dan bertaubat kepada yang tidak kelihatan, tapi enggan meminta maaf dan terus mengulang kejahatan kepada sesama. Yang diotaknya, “tuhan pasti memaafkan.” Tak perlu hirau tentang banyak rasa yang terluka.
Kalkulasi pahala dan dosa, surga dan neraka, untung dan rugi, hanya itu yang dihafal dan diingat. Lalai bahwa ada hutang rasa yang belum terbayar.
Penulis: Rangga Sujali