
Jembatan Edmund Pettus di Kota Selma jadi saksi bisu aksi brutal polisi yang menyerang 600 aktivis HAM kulit hitam.
PERINGATAN “Minggu Berdarah” di Kota Selma tahun ini tak seperti biasanya. Selain karena masih pagebluk COVID-19, peringatannya pada Minggu (7/3/2021) tak lagi dihadiri empat penyintas peristiwa 56 tahun lampau: Pendeta Joseph Lowery, Pendeta Cordy Tindell Vivian, serta dua aktivis HAM Bruce Boynton dan John Lewis. Keempatnya sudah tiada sejak 2020.
Kendati peringatannya tak sesemarak tahun lalu, momen itu tetap diadakan secara virtual dengan penayangan reka ulangnya. Presiden Amerika Serikat Joe Biden hadir via video conference pada 7 Maret 2021 waktu setempat (8 Maret WIB).
“Hal yang diwariskan dari aksi jalan kaki di Selma adalah, tidak ada yang bisa menghentikan setiap manusia bebas untuk mengerahkan kekuatan paling suci sebagai warga negara – mereka yang berani melakukan segalanya untuk mengambil kekuatan itu. Tanpa pengorbanan mereka yang melintasi Jembatan Edmund Pettus 56 tahun lalu, warga kulit hitam takkan bisa memberikan hak suaranya,” tutur Presiden Biden, dikutip The Atlanta Journal-Constitution, Senin (8/3/2021).

Dalam kesempatan itu, Biden mengungkapkan duka citanya yang mendalam atas wafatnya keempat pelaku sejarah di atas. Terutama Lewis, yang sempat ditemuinya menjelang hari kematiannya, 17 Juli 2020.
“Dalam rangka mengenang John Lewis, juga mengenang banyak sosok pemberani dalam momen itu: saat ini pun kita harus berdiri tegak karena hak suara kita adalah hak yang harus dipertahankan. Suara kita adalah hak asasi kita. Tahun lalu mendiang Lewis meminta saya untuk fokus memulihkan dan menyatukan negeri ini. Dia bilang bahwa kita semua diciptakan sama; kita semua berhak untuk diperlakukan setara,” imbuhnya.
John Lewis dan ketiga mendiang aktivis di atas merupakan tokoh penting dalam hari pertama “Minggu Berdarah” di Selma pada 7 Maret 1965. Hari yang bikin geger seantero negeri itu sampai membuat Dr. Martin Luther King Jr. hingga bahkan Presiden Lyndon B. Johnson turut bereaksi.
Aksi Jalan Kaki Selma-Montgomery
Jembatan Edmund Pettus Bridge di atas Sungai Alabama di kota Selma yang jadi penghubung Rute 80 menuju Montgomery, ibukota Negara Bagian Alabama, masih berdiri gagah. Ia jadi saksi bisu ketika massa berkisar 600 orang diserang hampir seribu aparat Kepolisian Negara Bagian Alabama yang dibantu masyarakat sipil kulit putih pada Minggu pagi, 7 Maret 1965.
Mengutip Robert A. Pratt dalam Selma’s Bloody Sunday: Protest, Voting Rights, and the Struggle for Racial Equality, aksi jalan kaki massal dari Selma menuju Montgomery itu diinisasi para aktivis HAM dari SNCC (Student Nonviolent Coordinating Committee), SCLC (Southern Christian Leadership Conference), DCVL (Dallas County Voters League) seperti Lewis, James Bevel, Hosea Williams, serta ibu dan anak: Amelia dan Bruce Boynton. Mereka menuntut dua hal, yakni investigasi adil terhadap pembunuhan aktivis Jimmie Lee Jackson oleh oknum kepolisian Alabama, dan hak memberi suara bagi warga kulit hitam.
“Setelah pemakaman Jimmie Lee Jackson di Marion, dihelat sejumlah pertemuan di sebuah kapel di Selma. Pada Senin pagi, 1 Maret, King bahkan ikut memimpin aksi jalan kaki ke gedung pengadilan Selma dan bicara pada para pengikutnya: ‘Kita akan membawa protes (terhadap) undang-undang hak suara di jalanan Selma’,” tulis Pratt.
Dua hari berselang, King kembali datang ke Selma untuk mengadakan rapat lagi dengan para aktivis SNCC, SLCC, dan DCVL yang selama ini punya beberapa perbedaan pandangan arah perjuangan. Diputuskan, King yang akan memimpin langsung aksi massal jalan kaki dari Selma ke Montgomery melalui Rute 80 sebagai puncak aksi protesnya.
Gerakan itu tercium Gubernur Negara Bagian Alabama George Wallace. Ia melarang segala aksi dari warga kulit hitam yang berpotensi gangguan lalu lintas.
“Gubernur Wallace menyatakan aksi itu akan jadi ancaman bagi keamanan dan ketertiban umum. Pada 6 Maret ia menyatakan: ‘Tidak boleh ada aksi jalan kaki antara Selma dan Montgomery.’ Wallace juga memerintahkan Kepala Patroli Kepolisian Alabama Kolonel Al Lingo untuk: ‘lakukan tindakan apapun yang diperlukan untuk mencegah aksi itu!’” ungkap David J. Garrow dalam Protest at Selma: Martin Luther King, Jr., and the Voting Rights Act of 1965.

(Lyndon B. Johnson Presidential Library).
Sementara di Gedung Putih, Presiden Johnson memanggil King untuk membicarakan aksi itu. Johnson ingin King percaya bahwa dirinya masih berjuang untuk mencabut persyaratan untuk hak suara pemilih, di mana salah satunya adalah penghapusan uji buta huruf. Meski begitu, King tetap tak mendapat kepastian setelah pembicaraan satu setengah jam dengan Presiden Johnson.
Pada Sabtu malam, 6 Maret, King memutuskan untuk batal memimpin aksi jalan kaki dari Selma ke Montgomery pada Minggu pagi, 7 Maret. Pratt mengungkap sejumlah versi soal alasannya. Salah satunya, King ternyata sudah punya komitmen untuk berkhotbah di Gereja Baptis Ebenezer di kota Atlanta setiap hari Minggu pertama di bulan Maret. Versi kedua, terkait keselamatan diri King, di mana ia didesak para aktivis SCLC untuk membatalkan memimpin aksi hari Minggu pagi karena adanya ancaman pembunuhan.
“John Lewis punya versi sendiri soal absennya King. Bahwa King sejatinya masih ingin memimpin aksi itu, tetapi King ingin menundanya sampai Senin (8 Maret) karena masih harus datang ke Gereja Ebenezer. Lewis, Bevel, Williams, dan Andrew Young lalu berdiskusi di Kapel Brown untuk menentukan siapa yang akan memimpin aksi menggantikan King,” sambung Pratt.