Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Atas nama negara kemanusian, mari berpikir ulang. Bahwa, untuk menghasilkan negara Pancasila, kita harus berpikir secara mandiri sekaligus bertindak rendah hati, serta berencana secara jenius. Kita harus menjadi pemikir yang mandiri karena tidak dapat menghasilkan negara yang menyetujui pandangan dan karya kolonial, liberal sekaligus komunis bahkan khilafah sekalipun.
Sedang bertindak rendah hati artinya bersikap terbuka dan menerima gagasan orang lain tanpa kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan baik dan komprehensif.
Sedangkan berencana secara jenius artinya berbasis konsensus, gotong-royong, anti gotong nyolong dan melenting jauh melewati generasi bergenerasi tetapi tetap berpijak pada pancasila serta konstitusi asli. Inilah bahan bakar sinergitas, serbuksari, hibrida dan kolaborasi: persatuan perjuangan serta perjuangan persatuan.
Benedict Anderson dalam buku “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” (1983) mendefinisikan bangsa sebagai produk nasionalisme modern dan “komunitas ekonomi-politik yang dibayangkan,” di mana menurutnya selalu “dibayangkan sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat.” Konsensus dalam cita-cita dan perasaan yang sama sebangun.
Dus, Indonesia adalah komunitas yang dibayangkan sebab tidak mungkin bagi semua anggotanya untuk saling mengenal secara manual. Ia dibayangkan sebagai persaudaraan yang mendalam dan horizontal dan menyatukan semua anggotanya tanpa memandang usia, kelas, warna kulit, kepercayaan, jenis kelamin, dan kepercayaan/agamanya.
Karenanya secara praktis bersifat universal, setiap nasionalisme membayangkan bangsa tertentu sebagai sesuatu yang unik dan berbeda dari yang lain. Usaha mengkarbon kopi akan muspro. Projek meniru dan bahkan menjajahnya terbukti kalah.
Dengan demikian, Indonesia harus konsisten dibayangkan sebagai konstruksi komunitas yang terbuka-terbatas karena terbuka dalam satu perasaan dan tujuan serta dibatasi oleh bangsa lain; meskipun batas-batas aktualnya seringkali cukup elastis dalam praktiknya.
Akhirnya, Indonesia harus terus dibayangkan dan diusahakan sebagai negara yang berdaulat: dipahami sebagai otoritas politik tertinggi yang sah dalam komunitas politik, yang menemukan ekspresi paling jelasnya dalam bentuk negara berdaulat, merdeka, mandiri, modern dan martabatif.
Tentu saja, kedaulatan negara kita kini makin tunduk pada dominasi ekonomi global, tetapi revolusi kedaulatan tersebut tidak memudar. Sebaliknya, nasionalisme dan gerak kemerdekaan baru justru semakin populer. Di dunia yang makin serakah, kalasuba dan tidak terkendali akibat globalisasi, jaminan makna dan keberlanjutan negara Pancasila menjadi semakin menarik untuk diperjuangkan.
Ya. Berjuang menjadi patriot sejati yang berpikir-bertindak revolusioneris menjadi niscaya. Itu panggilan suci sejarah kita. Sejarah dari mimpi bersama karena tidur di atas tanah-air-udara yang sama.
Tetapi ingat, perlombaan kejeniusan sejati harus dipandu oleh perasaan cinta yang luar biasa sehingga selalu berkarya. Mustahil untuk menghasilkan karya besar tanpa rasa sejati dan cinta yang luar biasa.
Kesadaran sejarah ini kami produksi dengan kejeniusan sejati, cinta yang sangat besar, plus sikap patriotik pada republik agar kreatif bin apik. Mestakung.(*)


