Sebagai metode kepemimpinan, buku Cina Klasik yang menjadi kitab suci, Tao Te Ching, yang ditulis berdasarkan ajaran Nabi Lao Tzu, sang pembawa agama terpenting kedua di negeri Naga setelah Konfusianisme, adalah tuntunan yang padat hikmah dan penuh kemuliaan. Karya yang diperuntukkan sebagai pedoman bagi cara dan sikap hidup para pemimpin negara, pemain politik dan penguasa abad lima sebelum Masehi itu dianggap tetap segar dan aktual untuk dihargai sebagai sumber kebijakan dan kebijaksanaan perilaku pemerintahan serta langkah politik kenegaraan sekarang. Dengan referensi hukum-hukum alam dan bercermin pada sifat-sifat air, manusia dididik untuk memahami bagaimana segala sesuatu terjadi, bekerja dan bagaimana politik dijalankan.
Hikmah-hikmah yang dikandung ajaran Tao dalam konteks Indonesia dapat kita sanding-bandingkan dengan falsafah Jawa yang cukup memiliki tempat di hati para pelaku politik negeri ini. Dengan perbedaan yang cukup banyak, diantaranya tradisi kejawen dalam memformulasikan teori-teori dan tuntunan politiknya berdasarkan pada kajian filosofis para empu dan pujangga baheula dengan banyak pendasaran pada sumber yang dicomot dari ‘tradisi’ dewa-dewa dan raja yang sering dianggap bukan manusia, sementara bagi ‘agama’ Tao, alam adalah guru yang utama dan mulia.
Jelas, metode Tao dalam membaca alam tidaklah se-matematis ilmu fisika, tapi metaforis-paradigmatis atau simbolis-substansialis, sekedar mengambil ibaratnya, seakan alam hanya memberi gambaran tentang perilaku yang patut diteladani oleh manusia. Lebih jauh dari itu dan di atas segala-galanya, bagi Taoisme alam menjadi realitas tertinggi dan terakhir (ultimate reality). Jika masyarakat Jawa kuno melihat dewa-dewa, pola kepemimpinannya, dan format kekuasaannya sebagai simbol teragung dari sistem pemerintahan, maka dalam ajaran Tao ‘hukum-hukum’ yang berlaku pada alam diambil sebagai pelajaran untuk mengendalikan diri dan menata masyarakat, dengan prinsip yang diyakini bahwa dalam seluruh gerak alam terdapat keteraturan yang mengagumkan yang mesti dicontoh.
Babah Dehong – Cilacap