Terdapat momen penting dimana masyarakat membentuk ke-Indonesiaannya dalam dua proses transformasi dirinya: pertama, transformasi yang dibawa oleh superioritas politik Barat (baca; Belanda dan negara ekspansif lainnya); kedua, upaya menemukan identitas politik ke-Timuran melalui reaksi-reaksi radikal atas superioritas politik Barat tersebut. Itulah mengapa antara Ratulangie dan Tan Malaka sejak dini dialam pemikiran mereka terdapat kesamaan konteks dan dekonstruksi atas proses transformasi besar masyarakat Indonesia yang sedang ‘menjadi secara sains dan spiritual’ kala itu.
Ratulangie melalui pernyataannya memberi ‘kode’:
Ingatlah tuan-tuan, keterpesonaan dengan Eropa telah selesai. Orang Indonesia sekarang berdiri di hadapan Anda bukan lagi sebagai pengemis, melainkan berpijak pada kodrat terdalamnya pada hak-haknya sendiri, telah berdiri bangga, sejajar dengan Anda. Indonesia menerima dengan penuh rasa terima kasih bantuan Anda yang sangat berarti dari luar, namun hanya percaya pada kekuatannya sendiri. Masa depan kami tidak akan tegak atau runtuh dengan kerja sama (Indië in de Nederlandsche Studentenwereld 1918; 19).
‘Kode’ diatas juga tampak dalam seruan Tan Malaka:
Akuilah dengan hati yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat (Massa Actie, 1926; 144).
Pernyataan kedua perintis kemerdekaan ini, selain memberi ‘gelombang kejut’ atas Barat, juga menguji ‘respon dan responsibility’ mereka, alhasil ‘kode’ ini berujung kepada politik reaksioner dan politik penindasan dari pemerintah kolonial. Ada dua makna signifikan dalam alam pikiran Ratulangie dan Tan Malaka, yakni seruan keutuhan nationhood dan himbauan konsensus nasional untuk cita-cita dan tujuan politik. selanjutnya, apa yang diimpikan kedua perintis kemerdekaan ini akhirnya bermuara pada penyatuan identitas nationhood yang termaktub dengan khidmat didalam Sumpah Pemuda (1928), serta kesatuan cita-cita dan tujuan politik yang tertuang secara luhur didalam Preambule UUD 1945.
Koordinat Pertama: Sumpah Pemuda
Sebagai koordinat pertama penegasan identitas politik bangsa Indonesia, deklarasi Sumpah Pemuda sejatinya telah melabrak dua ‘sekat’ yang memfigurasi habitus pergerakan nasional, serta dua wujud superioritas Barat melalui kolonialisme dan imperialisme. pertama, azas politik yang ‘berseragam’ nasionalisme-agama, sosialisme-religius, dan ekstrim-kiri-kanan. Kedua, menembus batas-batas dikotomi tradisional-modernis, kelas dan etnis. Pada ‘sekat’ berikutnya, pertama, meruntuhkan epistimologi Barat tentang nasionalismenya yang berwatak chauvinis sehingga ‘memproduksi’ psikologi yang rasial atas Timur (meskipun Jepang pernah tersesat dibagian ini). Kedua, menunjukkan kepada Barat tentang betapa ‘bangkrutnya’ mereka didalam kepemimpinan yang berkebudayaan dan perihal kemanusiaan (verheershing/penjajahan diberbagai aspek).
Koordinat Kedua: Preambule UUD 1945
Adapun makna yang melingkari preambule itu tersignifikansi kedalam empat-lingkar nilai dan norma, yakni sebagai dasar dan amanah politik-hukum, keadilan sosial, kesejahteraan sosial, dan berketuhanan. Empat-lingkar makna preambule ini menunjukkan posisinya sebagai koordinat sumber dari segala sumber ketatanegaraan, meliputi semua aspek, tidak hanya hukum semata. Preambule dan batang tubuh UUD 1945 merupakan inter-depedensi dan kohesi nilai dan norma yang hidup di masyarakat.
Jadi, jelas yang ingin diwujudkan adalah keterpaduan tatanan nilai berbangsa, serta norma sebagai dispute resolution dalam bernegara (ius constitutum-ius constituendum). Artinya, ia mengikat secara nilai, dan hidup didalam norma, ia menjadi komitmen didalam berbangsa dan menjadi sanksi atas pelanggaran yang dilakukan didalam bernegara.
Kembali ‘Menjadi Indonesia’
Tetapi segera dapat kita ketahui, setelah patahan pembangunan originalitas nilai dan norma yang genuine di dalam eksperimen pemerintahan Sukarno sampai 1965, menyebabkan masyarakat yang dibangun itu mengalami edukasi yang premature. Struktur dan kultur sosio-politik yang demikian jelas akan melahirkan sistem pemerintahan yang otoritarian, sistem dimana otoriter berkawin silang dengan birokrasi yang seoligarkis kapitalisme itu sendiri (Suharto-Orba). Patahan terus berlanjut ditahun 1998, dimana pressure group boleh dikatakan menang, sayangnya struktur kekuasaan yang dibangun justru berkawin silang kembali dengan struktur kekuasaan lama yang sudah bermetamorfosa. inilah masa dimana kawin silang antara demokrasi premature dan kapitalisme-konstitusional; pertama, ini diproduksi dari partai politik (multipartai), kedua, ia produksi dari berdatangannya pemilik modal baru dalam men-direct control posisi ekonomi-politik kita.
Posisi ketimpangan ini masih sama seperti yang terjadi dalam depresi berat ditahun 1930, jika dulu kita belum merdeka, sekarang posisi terulang kembali tetapi kini kita sudah merdeka. Tetapi apakah kondisi seperti ini pantas disebut merdeka? Jawaban menuntun bahwa setiap masa selalu memiliki titik balik, dan disetiap titik balik terdapat koordinat dimana segala sesuatu tentang kekuatan berbangsa dan bernegara itu dimulai, secara samar dari balik kabut yang menggelayut, koordinat itu telah menampakkan dirinya didalam momen Sumpah Pemuda dan Preambule UUD 1945 yang pernah menjayakan kita sebagai ‘pribumi’ dan pernah mengangkat derajat kita dari ‘inlander’ menjadi identitas politik sebuah bangsa dan negara. Di dua titik balik itulah kita pernah berada dalam koordinat ‘menjadi Indonesia’. disitu juga kita pernah memiliki kedaulatan dan kewibawaan sebagai sebuah negara dan bangsa.
Sambilegi, Yogyakarta, 10 Maret 2014.