Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki rencana untuk merevisi Undang-undang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3).
Isu revisi ini muncul seiring dengan potensi perebutan jatah kursi ketua DPR periode 2024-2029, dimana dua partai memiliki selisih tipis dalam posisi pertama dan kedua pada Pemilu Legislatif 2024.
“Menurut saya, sampai saat ini tidak ada gerakan konkret yang ingin mengubah UU tersebut,” ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen.
Habiburokhman juga menyoroti banyaknya undang-undang yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang membuatnya ragu apakah revisi UU MD3 akan segera dibahas. Dia mengungkapkan bahwa banyak undang-undang dalam daftar tersebut tidak dikerjakan, dan mempertanyakan keberadaan waktu yang cukup untuk merevisi MD3.
Berdasarkan penetapan KPU, PDIP meraih 16,72% suara pada Pileg 2024, sedangkan Partai Golkar mendapatkan 15,29%. Sesuai dengan UU MD3, kursi ketua DPR diberikan kepada partai politik yang meraih suara terbanyak pada pileg, yang berarti kursi tersebut seharusnya kembali dikuasai oleh PDIP dan kemungkinan akan diduduki oleh Puan Maharani.
Revisi UU MD3 kerap dikaitkan dengan kebutuhan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, untuk memastikan dukungan legislatif yang kuat untuk program dan kebijakannya. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan mengubah kembali rumusan UU MD3 menjadi seperti pada tahun 2009, di mana kursi ketua DPR diberikan kepada koalisi yang memperoleh jumlah kursi terbanyak di Senayan.
Pada saat itu, posisi ketua DPR diberikan kepada koalisi oposisi Jokowi yang menguasai 52% kursi DPR pada tahun 2014. Meskipun PDIP mendapat suara terbanyak pada Pileg 2014, namun koalisi pemerintah kalah jumlah dengan koalisi Prabowo.