Media, adalah salah satu ruang yang terbangun subur di negeri ini, namun sering menjadi rongga yang tersisihkan daripada kebenaran, dan ya, ini adalah tentang kaca benggala. Maksudnya, media, ceruk yang kerap tersudut ini bisa menjadi ukuran budaya manusia.
Pada tatanan yang cemar, media hanya akan menjadi palagan yang kelewat biasa, tak produktif, apalagi kreatif.
Ia lebih banyak difungsikan sebagai ruang yang tak terlihat, luput dari keseriusan. Alasan klasiknya-pun sederhana; kondisi masyarakat bawah yang tak dijembatani oleh basis pemahaman tata ruang yang layak. Sebab itulah, media hanya dilihat sebagai bidang kaku yang serba terbatas tanpa koma, tanpa tanda tanya.
Manakala media terpandang lusuh, maka secara otomatis akan berimbas pada durasi seseorang saat bersamanya.
Aktivitas baca sering dilakukan dengan tergopoh-gopoh misalnya. Sebab pada media yang buruk, nyaris semua yang tersaji hanyalah berupa karya yang dibuat tanpa luasnya hati, hingga gagal meraih simpati. Pada bagian seperti ini, manusia bisa tercermin bagai sosok yang tak estetis.
Singkat kata, kebenaran dan daya tarik media yang sehat menjadi dua hal yang tak terwujud.
Bahkan pada sisi yang lebih kelam, sederet media telah menjadi pangkalan atas banyaknya penyakit pikiran.
Mengapa tidak? media yang awalnya didaulat sebagai wahana untuk menumbuhkan pohon-pohon pengetahuan sekaligus wisata pikiran justru menjadi lapak yang tak lagi beradab, terkelola dengan semena-mena.
Lain pula gambaran bagi media yang terpelihara oleh basis pikir yang luas, ia mampu menjadi anasir kemanusiaan.
Membuat hidup menjadi lebih hidup, serupa bilik teduh, ia nyaman, sehat dan ajaib tentusaja!
Artinya, bila ditangani oleh mereka yang paham soal hunian, media adalah serupa ruang senggama yang daripadanya segala kenikmatan mampu terselanggara. Itulah alasan mengapa bagi kaum cerdik cendikia, media yang hebat adalah media yang mampu mengajaknya pada penjelajahan menakjubkan, lekat di memori, hingga terbawa ke dalam mimpi.
Ada lagi kisah yang berbeda, pada tata kelola pikiran yang hiruk-pikuk, media malah menjadi sektor anarki,yang anti kemanusiaan, ia nampak kebingungan, berlaku tanpa tatanan, dipenuhi banyak kepentingan dan entah apalagi.
Di sana, media diperlakukan semaunya, layaknya sebuah tirani berjalan, media tak lebih dari sekedar mainan.
Dengan membaca bagian diatas, seharusnya kita mampu mencerna, bahwa media yang hebat tak seharusnya absen dari nalar publik.
Sebab, sebagai ruang bersama, ia tercipta demi memfasilitasi hajat mereka.
Finally, pada akhir paragraf, baiklah saya harus menulis jika produk sebuah media bisa menjadi alat ukur mindset kelompok tertentu;
produk media adalah refleksi atas ideologi para punggawanya sendiri. Tak lagi bisa sembunyi, karena sesuai pepatah lama, apa yang dimakan itulah yang mereka keluarkan. Lalu, bagaimana dengan kita saudara? Kaum yang konon paling sulit ditebak?
Semoga apa yang kita tulis tentang toleran, murah senyum dan berbahasa tertib bukanlah sesuatu yang hipokrit. Salam!
(AF)