
Pihak AstraZeneca menyikapi pernyataan MUI yang menyebut vaksin buatan mereka boleh digunakan meski dalam pembuatannya memanfaatkan tripsine (enzim yang berasal dari babi). Sejumlah syarat dipatok MUI seperti meminta pemerintah tetap berikhtiar mencari vaksin halal bagi umat Islam.
“Penting untuk dicatat bahwa Vaksin COVID-19 AstraZeneca, merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk berasal dari hewan, seperti yang telah dikonfirmasikan oleh Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris,” kata pihak AstraZeneca dalam keterangannya, Minggu (21/3).
“Semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya,” tegas mereka.
Vaksin ini telah disetujui di lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Termasuk Arab Saudi, UEA, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko.
“Banyak Dewan Islam di seluruh dunia telah telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para Muslim.”
Vaksin COVID-19 diklaim AstraZeneca aman dan efektif dalam mencegah COVID-19. Uji klinis menemukan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca 100% dapat melindungi dari penyakit yang parah, rawat inap dan kematian, lebih dari 22 hari setelah dosis pertama diberikan.
“Penelitian vaksinasi yang telah dilakukan berdasarkan model penelitian dunia nyata (real-world) menemukan bahwa satu dosis vaksin mengurangi risiko rawat inap hingga 94% di semua kelompok umur, termasuk bagi mereka yang berusia 80 tahun ke atas,” ujar pihak AstraZeneca.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa vaksin dapat mengurangi tingkat penularan penyakit hingga dua pertiga.
“Semua vaksin, termasuk Vaksin COVID-19 AstraZeneca, merupakan bagian penting dalam menanggulangi pandemi COVID-19 agar dapat memulihkan keadaan di Indonesia agar dapat memulihkan perekonomian Indonesia secepatnya.”
Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam sebelumnya menjelaskan, ada 5 pertimbangan vaksin AstraZeneca tetap boleh digunakan meskipun haram.
“Vaksin AstraZeneca memanfaatkan tripsin (enzim berasal dari babi) dalam proses pembuatannya,” kata Niam.
Berikut 5 pertimbangan MUI:
- Kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajjah asyariah dalam konteks fiqh yang menduduki kedudukan darurat syari atau darurat syariah.
- Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi COVID-19.
- Ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi COVID guna ikhtiar mewujudkan herd immunity.
- Ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah sesuai penjelasan saat komisi fatwa melakukan kajian.
- Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia dan tingkat global.
