Kabar ketidakberesan dalam distribusi Bantuan Sosial (Bansos) Program Sembako di Kabupaten Banyumas untuk 136.135 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di 331 desa dan kelurahan di 27 kecamatan, masih simpang siur. Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari aparat penegak hukum ketika isu yang bergulir terkait dengan persoalan pengadaan daging sapi baru berdasarkan pernyataan dari wakil rakyat di Senayan.
Diberitakan sejumlah media online, tim penyidik Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah, selama tiga hari di Purwokerto melakukan penyelidikan dugaan penyelewengan program Bansos Sembako. Proses penyeledikan itu mencatut nama dua anggota DPRD Banyumas dan sejumlah suplier Bansos program Sembako. Sejauh ini mereka dimintai keterangan sebagai saksi terkait pengadaan barang dalam dalam satu program Bansos yang diberikan pemerintah tersebut.
Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dilakukan di Kantor Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Dinsospermades) Kabupaten Banyumas. Selain di kantor yang berada di Jalan Pemuda Purwokerto itu, proses penyelidikan juga dilakukan di Polresta Banyumas. Isu mengenai ketidakberesan dalam pengadaan daging sapi sebagai salah satu komiditi bantuan dengan total nilai Rp 200 ribu/KPM tersebut diungkapkan anggota wakil rakyat dari Dapil Banyumas-Cilacap, Wastam.
Sebagaiman dilansir dari Krjogja.com, anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi Agama dan Sosial tersebut mengungkapkan, KPM berhak menerima protein hewani berupa daging sapi seberat 400-500 gram dengan kualitas bagus. Sedangkan harga daging yang diberikan kepada KPM berkisar Rp 120.000,- per kilogramnnya. Namun di Banyumas ada ketidakberesan dalam proses suplai BPNT khusunya untuk pengadaan daging sapi yang tidak wajar.
“Ketidakberesan terlihat dari sisi harga yang dipatok suplier daging sapi impor penyuplai program BPNT di Banyumas, yakni Rp 120.000,- per kilogramnya. Harga itu sangat tidak wajar, karena harga daging sapi impor di pasaran hanya berkisar Rp 55.000,- hingga Rp 65.000,- per kilogramnya,” jelas Wastam kepada KRJogja.com Minggu (11/4/2021) di Baturraden, saat ditemui di sela sela kunjungan kerja.
Tujuan agar metode distribusi Bansos Sembako berjalan efisien, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat kualitas, serta tepat administrasi ternyata belum sesuai harapan. Lingkar Kajian Banyumas (LKB) FISIP Unsoed dalam survey publik terkait pelaksanaan program bansos sembako di Banyumas menyebuytkan KPM yang murni memperoleh Bansos Sembako justru jumlahnya lebih sedikit.
Survei tanggal 18-28 Janauri lalu yang dipublikasikan kepada media massa itu melibatkan 400 responden, terdiri 91 persen perempuan dan 0,9 persen laki-laki. Hasil survei tersebut bahkan dijadikan sebagai bahan diskusi publik secara virtual.
Ketua LKB FISIP Unsoed, Aisyah dalam paparan hasil survei menerangkan, KPM program sembako yang menerima bantuan sosial lain (JPS), sebanyak 56,3 persen. Sedangkan yang murni hanya dari program sembako sebanyak 43,7 persen.
“Jadi kebanyakan KPM yang mendapat bantuan sembako, sudah menerima bantuan lainnya. Ada yang dari program keluarga harapan (PKH), bantuan langsung tunai (BST) baik dari bantuan UMKM dan dana desa dan bantuan sosial tunai (BST),” dikutip dari portal suarabanyumas.com
Dia merinci, penerima program sembako dari KPM PKH sebanyak 54,8 %, Bantuan Langsung Tunai Usaha Mikro Kecil dan Menengah sebanyak 0,3 %, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT Dana Desa) sebanyak 0,8 %, dan Bantuan Sosial Tunai (BST) sebanyak 0,5 %.
Menurutnya, untuk penyaluran Januari, sebagian besar KPM mengaku menerima bantuan sebanyak 97,8 %. Sedangkan yang tidak menerima hanya 2,3 %. Ini karena saldo di kartu keluarga sejahtera (KKS) dalam posisi kosong ( 2%) dan tidak ada pemberitahuan ke KPM untuk pengambilan bantuan di e-warung sebanyak 0,3 %.
Untuk sumber protein nabati yang diperoleh melalui tahu atau tempe. Sebanyak 1,8% KPM menyatakan kualitas tempe atau tahu yang didapatkan sudah sangat baik, 91% menyatakan baik, dan sebanyak 7,3% menyatakan tidak baik.
KPM yang menyatakanprotein nabati berkualitas tidak baik karena beberapa KPM pernah menerima tempe dengan keadaan terlalu matang sehingga berbau busuk dan beberapa KPM menerima tahu dengan tekstur keras, sudah berlendir dan bau asam.
Sedangkan sumber vitamin dan mineral yang diperoleh dari apel dan kentang. Sebanyak 1,3% KPM menilai kualitas apel dankentang yang diterima kualitasnya sangat baik, 92,5% kualitasnya baik, dan 6,3% kualitaasnya tidak baik.
Meskipun banyak KPM yang merasa kualitas apel dan kentang baik, terdapat beberapa KPM yang menyatakan bahwa kualitas apel dan kentang masih dianggap tidak baik.Ini karena apel yang diterima rasanya asam, memiliki tekstur yang hambar, serta apel yang busuk dan layu. Demikian pula dengan kentang, KPM sempat menerima kentang busuk, kentang yang masih berwarna hijau, dan kentang yang berwarna putih dengan tekstur yang keras.
Indikator keberhasilan terakhir yaitu tepat administrasi. Sebanyak 2,3% KPM menyatakan bantuan Program Sembako sudah sangat tepat administrasi, 88,7% tepat administrasi, dan 9% menyatakan tidak tepat administrasi.
“KPM yang menyatakan tidak tepat administrasi karena pengambilan bahan pangan di e-warung menggunkan kartu ATM, sehingga KPM yang berusia lanjut merasa lebih susah. Selain itu sebagian wilayah, KKS milik KPM dipegang oleh pihak lain seperti koordinator dan agen e-warung,” katanya dikutip dari suarabanyumas.com.
Lebih Tepat Sasaran Jika Dalam Bentuk Tunai
Pengamat Ekonomi senior Faisal Basri dalam situs pribadi faisalbasri.com berpendapat, dana hampir Rp70 triliun itu bisa lebih tepat sasaran jika dikonversi dalam bentuk uang tunai.
Pertama, kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda. Beras dan gula tidak cocok untuk penderita diabetes. Keluarga yang memiliki bayi atau anak balita bisa membeli susu jika diberikan uang tunai. Penerima lainnya lebih leluasa memilih barang yang hendak dibelinya sesuai kebutuhan. Keleluasaan memilih sirna karena isi paket sembako sama untuk seluruh penerima bantuan. Menurut teori mikroekonomi, pilihan yang lebih banyak akan memberikan kepuasan lebih tinggi ketimpang bantuan barang.
Kedua, uang tunai bisa dibelanjakan di warung tetangga atau di pasar rakyat/ tradisional, sehingga perputaran uang di kalangan pengusaha kecil, mikro, dan ultra-mikro bertambah secara signifikan, menambah panjang nafas mereka yang sudah tersengal-sengal diterpa wabah pandemik COVID-19. Maslahat yang diterima mereka lebih merata ketimbang lewat pengadaan terpusat.
Ketiga, pengadaan sembako yang terpusat membutuhkan ongkos tambahan seperti untuk transportasi, pengemasan, petugas yang terlibat, serta beragam biaya administrasi dan pelaporan. Akibatnya penerima tidak memperoleh penuh haknya, tidak sebanyak dana yang dialokasikan.
“Semoga pemerintah segera mengoreksi mekanisme pemberian bantuan” tulisnya.
ISTIMEWA