Seorang gadis kecil duduk di atas tonggak pohon yang telah ditebang. Matanya kosong menatap tempat bermain yang akan berubah menjadi perumahan dan pusat perbelanjaan. Dia kehilangan teman-teman bermain, tanahnya ikut tergusur oleh mega proyek yang mulai menginvasi kampung halamannya.
“Di mana bunga kaca piring kesukaanku? Di mana…?” berulang-ulang gadis itu menyebut-nyebut bunga berwarna putih bersih dan berbau wangi.
Dahulu di tempat dia berdiri, banyak tumbuh bunga kaca piring. Apabila musim berbunga tiba akan tampak pemandangan indah, perpaduan antara hijaunya dedaunan dan kelopak-kelopak bunga memesona, putih berseri. Gadis kecil berkepang dua berlari-lari kecil mencari bunga kesayangannya berharap masih bisa menemukan tanaman tersebut.
Tak pernah terbesit dalam benak orang-orang desa kalau tempat tinggalnya akan secepat itu disulap menjadi kota. Desa yang semula menghadirkan kesejukan, kedamaian dan kerinduan bagi para perantau yang bertanah lahir di desa tersebut. Apabila hari raya tiba mereka berbondong-bondong mudik untuk melepaskan kerinduan pada keluarga dan kampung halaman.
Truk-truk pengangkut batu dan pasir mulai berdatangan, seperti monster-monster pemangsa. Mesin-mesin peradaban modern menerbangkan debu-debu, asap knalpot menambah daftar panjang polusi udara.
“Bu, di mana teman-teman bermainku? Kenapa mereka pergi? Bukankah mereka lahir dan besar di sini?” pertanyaan-pertanyaan polos keluar dari mulut seorang gadis cilik.
“Teman-temanmu mencari rumah baru, mereka harus mulai lagi kehidupan dari nol, beradaptasi dengan lingkungan yang masih asing.” Sang ibu berharap penjelasannya dapat dimengerti oleh anak perempuannya.
Senja kali ini tidak lagi sumringah meski langit masih merah saga. Lianna mendongak ke langit, rimbunnya dedaunan kini berganti dengan gedung-gedung bertingkat, berdinding kaca yang mengilap memantulkan sinar matahari.
Wajah-wajah dingin dan kaku, tidak ada tegur sapa meski berpapasan. Lianna memandang dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Siapa orang-orang itu, kenapa wajah mereka begitu datar? Bukankah mereka sedang menjadi tamu di desa ini?” Lianna belum begitu paham dengan apa yang tengah terjadi di kampung halamannya. Orang-orang yang disangka sebagai tamu itulah yang turut andil mengubah wajah desa, menyekat keramahtamahan dengan egoisme orang-orang kota.
Langit menggelap, lampu-lampu sudah dinyalakan, terang benderang. Di sepanjang jalan berpendar lampu jalan berwarna jingga, katanya itu lampu kabut; jadi meski kabut turun, lampu tersebut akan tetap terlihat menyala dan jalan menuju ke perumahan baru tetap terang benderang.
Terlihat beda memang, desa yang semula hanya diterangi beberapa lampu hasil swadaya warga sekitar, kini berganti nyala lampu jalan yang lebih terang dengan voltase lebih tinggi juga tentunya.
Seperti sedang berada di alam mimpi, kondisi desa kelahiran telah berubah, sayangnya bukan untuk dinikmati oleh orang-orang yang bertumpah darah di desa tersebut. Sebuah perubahan disuguhkan untuk orang-orang kota yang ingin menikmati suasana baru, memindahkan gaya hidup dari kota ke desa; menyebarkan virus hedonisme, konsumerisme pada orang-orang desa.
Lianna tetiba memekik kecil, kedua matanya menangkap sesuatu yang selama ini dicarinya. Tanaman bunga kaca piring kecil menyembul di antara gundukan pasir. Tangan mungilnya mengorek tanah, dibuatnya lubang melingkar untuk mempermudah mencabut akarnya.
Bangunan-bangunan baru terlihat megah berdiri, sangat kontras dengan kondisi di sekitarnya. Menampilkan sekat antara kaum borjuis dengan orang-orang marjinal. Tempat yang sejuk, tenang, bersahaja disulap menjadi kota baru.
Satu persatu anak-anak mereka mulai terserang virus orang-orang kota. Perempuan-perempuan muda, istri-istri mereka yang sebelumnya rajin turun ke sawah membantu pekerjaan suami atau orang tua, kini lebih asyik bersolek tak ubahnya kaum sosialita. Mereka mendadak gila belanja hanya sekadar mengikuti tren orang-orang kota apalagi pusat perbelanjaan yang baru saja dibuka memberikan diskon besar-besaran. Hal inilah yang membuat ibu-ibu dan para remaja putri terhipnotis dengan potongan harga yang mereka anggap sangat murah padahal sebenarnya mereka sedang digiring ke gaya hidup konsumerisme.
Orang tua Lianna adalah salah satu dari sebagian penduduk kampung yang lebih memilih untuk tetap bertahan, mereka tak berniat menjual rumah dan tanahnya pada orang-orang borjuis meski diiming-imingi harga tinggi.
“Bagi kami desa ini sudah seperti seorang ibu. Mustahil seorang anak tega menjual ibunya sendiri hanya demi uang, berapapun besarnya cepat atau lambat uang tersebut akan habis.” Kalimat tegas meluncur dari mulut seorang perempuan sederhana ketika dirinya dibujuk untuk menjual tanah beserta rumahnya.
Tak pernah benar-benar bisa membayar kebahagiaan seseorang. Kalau saja orang-orang yang sudah terlanjur pindah itu berani menolak, mungkin wajah kampung ini tidak akan seperti sekarang. Masih ada lahan luas tempat bermain anak-anak, masih mudah ditemukan bunga-bunga kaca piring yang bermekaran bila musim berbunga tiba.
Lianna berjalan pelan menuju rumahnya, kedua tangannya ditangkupkan untuk menahan agar tanah yang menempel di akar tanaman bunga kaca piring tidak berceceran.
Senja merah saga tampak jauh berbeda, tak seperti dahulu, begitu asri. Bayangan pepohonan yang terpahat di jalanan berganti dengan bayangan gedung-gedung milik orang-orang kota. Gemerisik rerumputan, batang-batang padi serta cericit burung-burung lenyap entah ke mana, bau asap jerami terbakar berubah menjadi bau asap karbondioksida dari knalpot kendaraan bermotor yang lalu-lalang.
Tumiyang, Pekuncen-Banyumas, 28 Desember 2019