Ada pepatah Jawa, “Wedi wirang, wani mati”, itu dulu. Hampir basi di era sekarang.
Tak perlu benar-benar cerdas. Pintar bicara pun bisa dimanfaatkan untuk meraup posisi. Dengan harta akan mudah memperoleh “kehormatan”. Kemiskinan kultural telah sedemikian rupa membentuk karakter hina di masyarakat. Uang akan dengan mudah merekrut anak buah menjadi massa bayaran.
Seorang koruptor bisa tertawa bahagia, ketika terciduk dan dipakaikan rompi jingga. Melambaikan tangan dengan muka tanpa dosa, innocent face. Bisa membayar pengacara ternama, mengkondisikan persidangan. Memutuskan sendiri vonis dan tempat tempat menjalani penjara. Sisi lain, maling ayam mukanya babak-belur dihakimi. Dia hanya membela tiga-empat perut yang kelaparan menunggu di rumah.
Di mana rasa malu? Wirang? Malu telah merampok harta negara-masyarakat. Berlimpah sampai tujuh keturunan. Membeli kehormatan, membayar kepala untuk membenarkan keculasan. Tak lagi malu, tangannya menghajar
Seorang petinggi partai, tampak santun, agamis, berpendidikan, dengan mudah memanfaatkan jabatan. Enteng saja mereka menyebut angka milyar, tak punya empati pada rakyat yang lapar.
Terkahir di Banyumas, ditemukan beras bansos dengan kualitas sangat tidak layak konsumsi. Seolah ini bansos, padahal uang rakyat yang dikembalikan kepada rakyat ketika sedang membutuhkan. Kemiskinan kultural melanda di semua level. Dengan menghilangkan rasa malu, mengambil keuntungan di atas kesusahan orang lain.
Wirang itu telah hilang, karena dhuit dadi gustine, klambi dadi nabine..
Rangga Sujali