Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara lebih banyak membantah ketika bersaksi dalam sidang perkara korupsi bantuan sosial atau Bansos Covid-19 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 22 Maret 2021.
Salah satunya ketika jaksa mencecar politikus PDIP itu soal dugaan memerintahkan bawahannya memungut Rp 10 ribu dari setiap paket sembako bansos Covid-19. “Tidak pernah,” kata Juliari yang bersaksi secara virtual itu, singkat.
Hari itu, Juliari bersaksi untuk dua terdakwa penyuap yaitu, Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja. Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa kedua pengusaha itu menyuap Juliari dengan total Rp 1,28 miliar dan Rp 1,95 miliar supaya mendapatkan kuota bansos di Kemensos. Suap diduga diberikan melalui dua pejabat pembuat komitmen di Kemensos, Adi Wahyono dan Mathus Joko Santoso.
Jumlah duit yang ditengarai diterima Juliari dari dua pengusaha itu yaitu lebih dari Rp 3 miliar diduga hanya sebagian. Sebab, KPK menyangka Juliari menerima hingga Rp 17 miliar dalam pengadaan bansos selama Maret hingga Desember 2020. Adapun total anggaran Kemensos untuk bansos adalah sebanyak Rp 6,4 triliun yang terbagi menjadi 12 tahap penyaluran.
Sumber yang mengetahui konstruksi perkara kasus bansos menyatakan, perintah memungut Rp 10 ribu dari tiap paket bansos datang dari Juliari. Nantinya, perusahaan bisa ditunjuk menjadi vendor penyedia bansos bila menyerahkan Rp 10 ribu per paket yang mereka dapatkan. Operator yang ditugasi untuk mengambil pungutan itu adalah Matheus. Selain fee Rp 10 ribu, Juliari diduga juga meminta Matheus memungut uang operasional di luar fee tadi.
Matheus, kata sumber ini, punya rumus sederhana untuk menghitung besaran fee yang harus dia kumpulkan, yaitu jumlah paket yang diterima oleh sebuah perusahaan, dikali dengan Rp 10 ribu. Sehingga, bila sebuah perusahaan mendapatkan 16 ribu paket, maka jumlah fee yang harus dibayar adalah Rp 160 juta.
Sumber yang sama menyebutkan Juliari memberi target kepada Matheus perihal pungutan fee ini. Misalnya, untuk putaran tahap pertama, yaitu tahap 1 sampai dengan 6, target yang diminta adalah Rp 35 miliar. Lalu untuk putaran kedua yang terdiri dari tahap 7 sampai 12, Juliari diduga memasang target pungutan mencapai Rp 10 miliar.
Matheus gagal memenuhi target itu. Pada putaran pertama, Matheus hanya berhasil mengumpulkan Rp 14,7 miliar dan pada putaran kedua duit yang terkumpul sebanyak Rp 8 miliar. “Karena ada pemberian dari pihak rekanan atau swasta yang belum terealisasi,” kata sumber tadi. Meski demikian, jumlah fee yang telah terkumpul dari dua putaran tadi adalah sebesar Rp 22,7 miliar. Menurut sumber tadi, dari jumlah itu duit yang mengalir ke Juliari hanya Rp 17 miliar. Sisanya dipakai untuk operasional Kemensos dan disalurkan ke pihak lainnya.
Penelusuran Tempo menemukan bahwa Juliari diduga bukan satu-satunya pihak yang memiliki jatah kuota bansos Covid-19. Sumber yang mengetahui proses penyidikan ini menduga Juliari sebenarnya hanya menguasai 1,6 juta paket sembako bansos, dari keseluruhan paket yang ditaksir mencapai 23,7 juta kuota.
Sejumlah sumber yang mengetahui proses pengadaan bantuan menyebut dua politikus PDIP, Herman Hery dan Ihsan Yunus diduga memiliki jatah terbesar dalam proyek pengadaan bansos. Ketua Komisi Hukum DPR, Herman Hery diduga melalui beberapa perusahaan menguasai 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun. Sedangkan Ihsan, diduga memperoleh 4,6 juta paket senilai Rp 1,3 triliun. Di level operasional, kedua politikus kolega separtai Juliari itu diduga diwakili oleh operator mereka.
Sejumlah perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Herman adalah PT Anomali Lumbung Artha dan PT Famindo Meta Komunika. Perusahaan itu kemudian terhubung dengan perusahan milik Herman, PT Dwimukti Graha Elektrindo yang diduga menjadi penyedia utama barang.
Herman mengakui Dwimukti berhubungan dengan Anomali. Ia mengatakan perusahaannya menjadi penyedia bantuan setelah mengikat kontrak dengan Grup Anomali. Meski demikian, Herman Hery mengatakan sejak menjadi anggota DPR dirinya sudah tidak lagi menjadi pengurus perusahaan itu. Dia membantah mengatur proyek bansos. “Hubungan Dwimukti dan Anomali murni urusan bisnis,” kata dia.
Sementara Ihsan Yunus diduga terafiliasi dengan sejumlah perusahaan, yaitu PT Andalan Pesik Internasional, PT Bumi Pangan Digdaya, PT Mandala Harmoni dan PT Pertani. Ihsan membantah terlibat proyek bantuan sosial ini. “Enggak benar, itu fitnah,” kata dia.
KPK telah menggeledah rumah Ihsan pada 24 Februari 2021. Dari sana, penyidik pulang dengan tangan hampa. Toh, Ihsan tetap dipanggil untuk diperiksa pada keesokan harinya. “Saya telah menjelaskan semua ke penyidik,” kata dia seusai pemeriksaan.
Saat bersaksi dalam sidang, Juliari Batubara mengakui bahwa anggota DPR Ihsan Yunus pernah beberapa kali datang ke ruangannya di Kemensos. “Iya pernah beberapa kali,” kata Juliari. Dia bilang kedatangan itu wajar karena pernah satu fraksi di PDIP. Juliari mengatakan tak pernah membicarakan soal bansos. “Oh ga ada pak, dia pernah beberapa kali ya wajar pak dulu pernah satu fraksi pak,” kata dia.