Potensi kerugian negara dari kasus penyelewengan dana program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) di Desa Sokawera Kecamatan Cilongok dihitung mencapai angka Rp 2,12 Miliar. Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto menyebutkan dana yang diduga diselewengkan sebesar Rp 1.920.000.000.
“Disita lagi barang bukti tambahan senilai Rp 200 juta. Uang senilai Rp 160 juta disita dari AM dan Rp 40 juta dari MT. Barang bukti diamankan dari kedua tersangka secara langsung,” kata Kepala Kejari Purwokerto, Sunarwan dikutip dari laman tribunnews.
Sementara, laman kompas.com dalam laporannya menyebutkan ada delapan green house melon di Sokawera yang kini dikelilingi garis bertuliskan Kejaksaan RI.Green house tersebut disita karena diduga pembangunannnya menggunakan dana pengaman sosial Covid-19 senilai Rp 2,1 miliar.
Rugi Sang Juragan Tani Gegara Proyek Hasil Korupsi
Berdasarkan data yang digali Indiebanyumas.id, Green House Melon tersebut dibangun oleh pihak ketiga dimulai dari bulan Desember 2020. Jadwal penggarapan pola penanaman melon secara modern itu ditetapkan harus sudah selesai pada Mei mendatang. Jika dihitung maka waktu penyelesaian kedelapan green house Sokawera tersebut adalah 6 bulan.
Sumber terdekat dari pihak ketiga tersebut, kepada indiebanyumas mengaku meski tidak terlibat ikut dalam penggarapan proyek green house di Sokawera tetapi karena menjadi bagian dari usaha pendirian green house, dirinya mengetahui proyek di Sokawera termasuk kategori proyek besar.
“Baik. Jadi begini, tidak mungkin saya tidak tahu bahwa ada garapan green house di Sokawera. Tapi detail darimana sumber dana tersebut, saya tidak mengetahui sama sekali,” tuturnya.
Dia mengatakan, selama proses pembangunan green house melon di Sokawera dirinya mengaku hanya mengetahui ada proyek pembuatan green house di Sokawera yang dimotori oleh dua orang.
“Setau saya, tidak ada perjanjian apapun kecuali mereka meminta untuk dibuatkan green house melom setelah terjadi kesepakatan antar dua pihak. Kesepakatan antar kedua belah pihak tidak tertuang dalam bentuk surat perjanjian kerja. Pihak ketiga mutlak hanya sebagai tenaga penggarap sekaligus menyediakan keperluan material,” tuturnya.
Hal itu juga dibenarkan sang Juragan dari pihak ketiga yang diperintah oleh kedua warga Sokawera untuk menditikan green house melon.
“Tak ada tanda tangan untuk surat perjanjian apapun. Kami diminta membuatkan apa yang keduanya inginkan, dan kami menjalankannya sesuai keinginan mereka,” kata Sang Juragan yang ketika kami bertemu, tampak sekali dirinya menandakan sikap sangat khawatir usai tahu proyek itu bermasalah.
Dia juga mengaku sama sekali tidak mengetahui apakah proyek besar itu dibangun melalui perijinan seperti apa dan menggunakan perusahaan milik siapa.
“Intinya saya memang murni sebagai pekerja lapangan dalam proyek tersebut. Hitungan nilai jasa sebagai pekerja dari pihak ketiga, kesepakatannya dibangun atas dasar kepercayaan, ” ungkap Sang Juragan.
Informasi lain, pihak ketiga mengklaim sejak Desember dimulai proses pembangunan hingga proyek mandeg karena bermasalah, mereka masih memiliki hak yang ingin mereka peroleh secara adil.
“Hak kami yang belum terpenuhi mulai dari gaji tenaga sampai pembelian bahan material green house, besarnya mendekati Rp 500 juta,” katanya.
Sang Juragan merasa tidak melakukan tindakan melawan hukum dari hanya bekerja lapangan. Tapi sejak meledaknya kasus penyelewengan dana negara yang dirinya menjadi bagian di dalamnya, Sang Juragan kini ciut nyali.
“Saya merasa tak bersalah, tapi sejak kemarin saya jujur tak bisa tidur nyenyak karena menjadi penggarap delapan green house Melon. Saya tetap tak tenang, dan sial urusan uang kami sebanyak Rp 500 juta, biarlah jika itu memang Alloh tak menghendaki,” ungkapnya.
Juragan yang hilang nyali, sekarang merasa tidak bebas bergerak menjalankan aktivitas. Bahkan, janji untuk bertemu dengan indiebanyumas.id untuk kali kedua, dibatalkan oleh Sang Juragan. Melalui pesan aplikasi whatsapp, dia mengabarkan sedang berada di Ciamis yang anehnya sekitar sejam sebelumnya dia menyatakan siap untuk kembali bertemu.
Kepanikan Sang Juragan pun menyiskan teka-teki besar. Apalagi, anak buahnya, UL, sehari setelah kasus green house di Sokawera meledak, sudah dipanggil oleh pihak Kejari Purwokerto sebagai saksi.
Siapa sebenarnya kedua warga Sokawera yang seolah menjadi pengatur semua urusan teknis di lapangan?
Sebagaimana sejak awal disebut berbagai media yang bersumber dari Kejari Purwokerto, dua warga itu adalah MT dan AM akhirnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyelewengan dana program JPS Kemenaker senilai Rp 21,12 Miliar.
Mereka diamankan setelah diduga melakukan tindak pidana korupsi bantuan dari Ditjen Binapenta dan PKK, 9 Maret 2021. Modus yang digunakan kedua tersangka yakni, membentuk kelompok tani baru berjumlah 48 orang. Setiap kelompok tersebut seharusnya mendapatkan bantuan Rp 40 juta dari pemerintah.
Dana Rp 2,1 miliar tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja untuk disalurkan ke 48 kelompok usaha. Proses pencarian dana sebenarnya dilakukan melalui rekening atas nama kelompok usaha.
Disebutkan, setiap kelompok yang beranggotakan 20 orang tersebut, seharusnya menerima dana Rp 40 juta.
Namun ternyata setelah ketua kelompok mencairkan bantuan dari bank, dana tersebut ditampung oleh AM. Lalu, AM dan rekannya MT lalu ditetapkan sebagai tersangka.
Informasi yang sudah beredar luas menyebutkan, keduanya adalah orang dekat anggota DPR RI asal Banyumas yang duduk di Senayan melalui pemilihan legislatif di Dapil Banyumas dan Cilacap. Bahkan, salah satu dari mereka merupakan tenaga ahli wakil rakyat yang ditempatkan di daerah.
Dari fakta ini, maka apa yang disampaikan Bupati Banyumas ir Achmad Husein berkaitan dengan adanya dana program JPS yang masuk ke Desa Sokawera adalah bersumber dari anggota DPR RI, kian memperjelas alur kisah dana negara yang diselewengkan ketika masyarakat sedang dalam kondisi ekonomi terpuruk akibat dampak Pandemi Covid-19.
ISTIMEWA