Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto awalnya menyita Rp 470 juta dari hasil penggeledahan kasus dugaan korupsi program Jaring Pengamanan Sosial (JPS) dari Kementerian Ketenagakerjaan RI di wilayah Kabupaten Banyumas. Angka itu terus bertambah, dimulai dari nominal Rp 200 Juta lalu menjadi Rp. 1.920.000.000 dan paling akhir disebutkan Rp. 2.120.000.000.
Jumlah itu cukup besar. Tapi, sejatinya bukan perkara besar kecil duit negara yang diembat para pelaku korupsi. Di tengah situasi ekonomi yang sedang terguncang akibat pandemi, perbuatan ini dinilai tak beradab karena harus mengorbankan orang lain demi memenuhi syahwat mereka.
“Besar atau kecil, korupsi tetap merupakan kejahatan yang tak beradab. Apalagi sekarang, ketika masyarakat sedang berjuang keras bahkan hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Mari kita kawal kasus ini, sampai tuntas ke akarnya,” tegas Ke DPC AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) Purwokerto, N Ageng Wicaksono SH.
Ageng menambahkan, dalam setiap kasus korupsi di tanah air, selama ini dalam penanganannya terhadap para pelaku mudah sekali terbaca.
“Skala besar maupun kecil, mudah ditebak ketika kemudian tupai yang lihai terjatuh maka tupai itu hanyalah bagian dari pasukan. Induknya selamat. Kali ini, kita harus berani mengkritik aparat penegak hukum apabila endingnya sama seperti kasus-kasus sebelumnya,” kata aktivis 98 yang biasa disapa Hanny ini.
Jangan Lagi Ada Tebang Pilih
Pasukan yg menjadi korban, begitu Hanny menyebut orang-orang yang dikorbankan, diharapkan tidak terjadi dalam penanganan kasus korupsi dana JPS Kemenaker di sokawera.
“Penanganan kasus korupsi sokawera diharapkan jangan terjadi tebang pilih, karena ini menyangkut integritas Kejaksaan Negeri Purwokerto,” tegas Hanny.
“Karena ini melibatkan tidak hanya dua orang, ada 48 kelompok usaha yang dimanipulasi, juga pihak ketiga yang mereka semua terjebak di celah-celah dakwaan hukum,” tambah Hanny.
Hanny mengapresiasi upaya Kejari Purwokerto yang telah membongkar dugaan korupsi dana bansos JPS Kemenaker.
“Semoga Kejari Purwokerto mampu menjawab tantangan masyarakat untuk bisa membongkar kasus ini sampai ke hulunya, sampai ke akar-akarnya, agar tidak terkesan adanya birokrat yg kebal hukum apabila ditemukan bukti kuat keterlibatan oknum biromrat yang ikut bermain dalam kasus ini,” katanya.
Apa yang Hanny katakan seolah mewakili perasaan Kepala Desa Sokawera, Mukhayat, yang juga dilanda kegalauan. Ada 14 warganya yang nasibnya belum jelas. Mereka juga ikut dipanggil sebagai saksi dalam perkara kasus korupsi dana JPS Kemenaker, sebagai ketua kelompok usaha.
“Kami mendampingi mereka semampu dan sesuai kapasitas kami,” kata Mukhayat.
Tim Kejari Purwokerto dalam mengungkap kasus tersebut mengamankan 38 stempel kelompok dari total 48 kelompok usaha, satu unit komputer, dan beberapa dokumen perjanjian kerja sama antara 48 kelompok dan Direktorat Pengembangan dan Perluasan Kerja pada Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Bina Penta dan PKK) Kemnaker RI.
Dari 48 kelompok tersebut, 14 kelompok berasal dari Desa Sokawera. Mukhayat mengatakan, dirinya memang mengesahkan adanya kelompok usaha ketika ke-14 kelompok tersebut mengajukan permohonan legalitas.
“Sebagai kepala desa saya mendukung masyarakat yang ingin maju dengan membentuk kelompok usaha, sehingga ketika mereka mengajukan permohonan untuk pengesahan sebagai syarat pengajuan bantuan maka saya langsung setuju. Apalagi, selama ini kelompok usaha di desa kami tak pernah memperoleh bantuan,” ungkapnya.
Mukhayat juga mengetahui program dari Kemenaker yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pembangunan green house melon di desanya.
“Karena saat itu apa yang disampaikan oleh anggota dewan, yaitu Bu Erma, sangat baik. Tapi terkait dengan pola penyaluran sampai proses teknisnya saya tidak mengetahui. Saya selesai pada pengesahan permohonan legalitas kelompok usaha,” katanya.
Awal kasus terungkap sebagaimana diberitakan berbagai media massa, pada 9 Maret 2021 Kejari Purwokerto melakukan penggeledahan di rumah AM, warga Desa Sokawera, dan berhasil menyita uang sebesar Rp470 juta. Selanjutnya, dalam proses penanganan kasus tersebut, nominal yang terungkap kini menjadi Rp. 2.120.000.000. Keduanya, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyelewangan dana JPS dari Ditjen Bina Penta dan PKK Kemnaker RI.
Total bantuan dari Ditjen Bina Penta dan PKK Kemnaker RI untuk 48 kelompok itu mencapai Rp1,920 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Rakyat Indonesia (BRI) milik kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan bantuan Rp. 40 juta.
Nah, saat masing-masing perwakilan kelompok menarik uang tersebut pada tanggal 1 Desember 2020, seseorang telah menunggu di luar kantor BRI. Lalu, saat perwakilan kelompok itu keluar dari bank, orang tersebut meminta seluruh uang yang mereka tarik, total sebanyak Rp. 1.920.000.000.
Ketika ditanya apakah dari perwakilan kelompok tersebut memperoleh fee dari MT atau AM, Mukhayat menegaskan tidak ada fee yang diberikan oleh keduanya kepada ketua kelompok di Sokawera.
“Tidak ada, saya menanyakan ini kepada para perwakilan kelompok. Mereka tidak menerima, paling juga ya biasa sekadarnya 50 ribu,” ungkap Mukhayat.
Bantuan program JPS dari Kemnaker tersebut sebenarnya ditujukan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat akibat Covid-19, baik yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun menganggur.
Dalam hal ini, Ditjen Binapenta dan PKK Kemnaker memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat di desa dan masing-masing kelompok beranggotakan 20 orang dengan tujuan memberdayakan masyarakat.
Terkait dengan kasus tersebut, Kejari Purwokerto bakal menjerat para tersangka dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
ISTIMEWA