Apa yang terlintas ketika Anda membaca sebuah kata, “proyek”?
Sejak Orba, telah terstigma bahwa proyek, sarat muatan negatif. Mulai dari perencanaan, tender, pelaksanaan, pengawasan, dan hasil. Untung besar, akal-akalan spesifikasi teknis, dan pengawasan yang lemah atau melemahkan diri.
Dalam novelnya “Orang-Orang Proyek”, Ahmad Tohari secara lugas menggambarkan bahwa semua yang terlibat dalam proyek, melacurkan diri untuk kepentingan bersama. Buruh hanya menerima upah untuk “asal perut penuh”. Mandor, kontraktor, dan bohier adalah mahluk yang buas, dan harus diikuti keinginannya.
Ada satu kesepakatan di balik tirai, yang ada tapi tak tampak, tampak tapi tak tersentuh, dan tersentuh tapi licin seperti belut.
Bohier adalah pemilik anggaran dan kegiatan. Kita persempit bohier bahasan di sini adalan pemerintah. Ada aneka dinas yang bisa saja mengajukan rencana kegiatan karena urgensinya. Langkah awal, bohier menunjuk institusi Konsultan Perencana. Dari tim perencana, muncul gambar dan Rencana Anggaran Belanja (RAB). Konsultan perencana biasanya adalah institusi yang punya keahlian khusus tentang gambar teknis dan penghitungan RAB. Tentu anggaran yang diusulkan sudah memperhitungkan keuntungan untuk penyedia jasa konstruksi.
Aplikasinya kemudian, bohier melaksanakan lelang. Ada skema penunjukan langsung, lelang terbatas, dan lelang terbuka. Di sini sudah mulai ada yang bermain. Kalau skema penunjukan langsung, biasanya ditunjuk kontraktor yang berprestasi atau yang dekat dengan dinas. Ada rahasia umum, untuk proyek dana aspirasi, kontraktor harus menyiapkan 7-10 persen dari total nilai proyek yang dia minati. Lelang terbatas, bisa saja antar kontraktor saling tahu tentang nilai penawaran. Lelang terbuka, sudah menggunakan LPSE. Pun masih bisa dimainkan dengan teknik tertentu.
Potensi penyelewengan terjadi sejak hulu sampai hilir. Konsultan memberikan upeti agar kedekatannya kemudian mendapat tender perencanaan. Saat tender, kontraktor konstruksi memberi imbalan tertentu kepada Bohier agar dia yang mendapatkan pekerjaan. Ada tangan-tangan yang lihai mengatur hal semacam ini, dan itu terjadi hampir di seluruh kabupaten. Secara tertulis jelas kontaktor tidak boleh memindahtangankan pekerjaan, tapi di lapangan ada subkontraktor yang menunggu, ada juga bas borong yang siap.
Masing-masing level harus untung. Lalu diambil dari mana? Semua dari RAB. Di dalam RAB masih dibebani biaya administrasi, pajak dan asuransi. Di ujung, apa yang bisa dimainkan? Upah buruh dan kualitas pekerjaan. Maka tak heran jika ada bangunan yang hanya bertahan dalam hitungan bulan.
Kontraktor baik, tidak selamanya
kontraktor yang menyelesaikan pekerjaan dengan mutu baik. Bisa jadi karena kepandaian dia mengatur semuanya menjadi seolah-olah baik adanya.
Tidak usah mengadili tentang hasil yang didapat oleh kontraktor. Cukup kembali ke nurani. Jangan pula bertanya siapa yang bertanggungjawab, karena dalam lingkaran setan itu, semua pihak menikmati dan saling menutupi.