Prof Yudhie Haryono PhD
CEO Nusantara Centre
Apa yang terlihat oleh publik setelah 80 tahun Indonesia merdeka? Sinetron yang mempertunjukkan betapa mewah hidup elite kita. Gajinya tinggi. Fasilitasnya mewah. Perabotan dan rumahnya di luar nalar. Pakaian dan asesorisnya terlalu wah di tengah banjir PHK dan hancurnya daya beli rakyat.
Padahal mereka hidup di negara pancasila. Negeri gotong royong yang saling melindungi, saling menyejahterakan, saling mencerdaskan dan saling menertibkan. Sayang, tradisi itu hilang dan “dilenyapkan” elite.
Ya. Kini orang bangga jadi pancasilais borjuis. Kelas borjuasi di Indonesia merujuk pada elite serakah yang memiliki kekayaan dan kekuasaan ekonomi sangat signifikan. Hidup mereka untuk, dari dan oleh kekayaan semata.
Singkatnya, kaum borjuasi adalah elite ekonomi yang memiliki pengaruh besar dalam kenegaraan dan kewarga negaraan. Mereka membeli semua: kebijakan, kekuasaan, posisi, pangkat, legislasi dan bahkan kursi posisi publik.
Padahal, karakter asli borjuasi di Indonesia adalah sangat bergantung pada negara dalam akumulasi kapital dan akses ke peluang ekonomi. Dus, pada mulanya mereka itu “rent seeker” dan peliharaan pejabat.
Hal ini karena negara memiliki peran penting dalam memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan mengatur kebijakan yang menguntungkan mereka. Dus, tanpa negara, mereka miskin; mereka kere dan tak berkuasa.
Tentu saja, kaum borjuis di Indonesia hidup dengan nilai-nilai liberal, modern, sekuler dan global. Hal itu membentuk pandangan politik dan ekonomi yang mendukung kepentingan mereka dengan pihak asing. Selanjutnya, mereka pilih jadi “hitman” dan kurir kepentingan asing di republik ini.
Pasca reformasi, kaum borjuis di Indonesia berkembang sangat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi pasar. Mereka adaptif pada zaman tanpa moral dan tanpa etika kemanusiaan. Mentalitas itulah yang membentuk dan membuat mereka meraksasa.
Tentu saja, semua pilihan itu menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang signifikan antara kelas borjuasi dan kelas bawah. Kesenjangan yang melahirkan amok masa. Nasib yang melahirkan perlawanan kaum kota.
Ingat. Kekayaan dan kekuasaan itu bergulir dan dipergilirkan, tunggu saatnya akan tiba. Rakyat pasti siapkan api pembakaran bagi mereka yang sudah lama serakah dan menyembah setan. Sebab, borjuisme itu mengkhianati pancasila; melawan Tuhan; mengingkari kemanusiaan.
Kata demonstran kemarin, “jika pemerintah tidak mampu menegakkan hukum dan membiarkan praktik KKN jadi agama, biar generasi kami yang bakar kaum borjuasi hidup-hidup.”
Para demonstran tentu saja adalah patriot pancasila. Mereka sering tidak mendapat tempat terhormat di negara yang diperjuangkan. Tetapi, dari tesis itu kita paham bahwa sejarah tidak selalu adil, dan kebenaran sering tertutup oleh kepentingan kejahatan kaum borjuis.
Karenanya, mereka harus bergerak dengan cinta pada republik dan tak berharap rasa iba apalagi jabatan. Merekalah yang akan menggilas dan menghapus tradisi borjuasi anti nalar sehat.(*)