Riskal Arief
Pegiat Nusantara Centre
Pala, atau Myristica fragrans, adalah pohon rempah istimewa yang berasal dari Kepulauan Banda di Maluku. Sejak zaman Romawi, buah dan bijinya telah menjadi komoditas perdagangan penting karena nilai dan rasanya yang luar biasa.
Pohon pala dapat tumbuh hingga ketinggian 20 meter dengan bentuk tajuk seperti piramida. Daunnya berbentuk lonjong dan buahnya bulat hingga oval dengan kulit berwarna kuning gading dan fuli merah darah. Buah pala siap dipanen setelah 7-9 bulan, dan di pulau Banda, beberapa pohon bahkan sudah berbuah pada usia 3 tahun.
Kualitas pala Indonesia diakui dunia sebagai yang terbaik dibandingkan jenis pala lainnya. Tak heran, pala telah lama dibudidayakan dalam perkebunan rakyat di Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan beberapa wilayah lainnya, menjadikannya warisan budaya dan ekonomi yang berharga bagi Indonesia.
Tingginya nilai pala di pasar Eropa di masa kolonial, membuat Belanda mau menukar Pulau Manhattan dengan Pulau Run, yang dikuasai oleh Inggris, seperti tertuang dalam Perjanjian Breda, 31 Juli 1667.
Saat ini pala masih menjadi salah satu rempah khas Indonesia yang banyak diekspor ke luar negeri. Menurut data Kemenparekraf, per Januari-April 2020, nilai ekspor pala utuh mencapai 26,47 juta dollar AS, dan bubuk pala sebesar 7,04 juta dollar AS (www.kemenparekraf.go.id/2021).
Namun, di sisi lain Indonesia juga tercatat mengimpor pala meskipun dalam jumlah yang tidak banyak. Pada tahun 2020 impor pala tercatat sebesar 241 ton. Impor pala tersebut turun menjadi 189 ton pada tahun 2021. Rata-rata pertumbuhan nilai impor pala selama periode 2012-2021 sebesar 19,45% per tahun (satudata.pertanian.go.id).
Paradoks ini terjadi diantaranya karena terdapat pala Indonesia yang ditolak oleh negara tujuan ekspor. Penolakan terjadi umumnya karena kualitas pala yang diekspor tidak memenuhi standar negara eksportir, sehingga komoditas tersebut dikembalikan lagi ke Indonesia. Pala yang ditolak negara eksportir tersebut kemudian dicatat pada dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) di Bea Cukai sebagai impor pala.
Enam negara utama asal impor pala adalah Indonesia, Vietnam, UK, Turki, Tiongkok dan Hongkong. Ini artinya ada produk pala kita yang ditolak masuk di enam negara tersebut karena masalah kualitas. Misalnya karena kandungan aflatoksin (racun yang dihasilkan oleh jamur) yang melebihi batas. Di sini kita bisa lihat ada masalah pada QC (quality control) pada komoditas unggulan ini.
Untuk meminimalisir penolakan negara tujuan ekspor terhadap pala asal Indonesia maka peningkatan kualitas produk pala menjadi perhatian penting, khususnya pada saat penanganan pascapanen. Racun aflatoksin pada buah pala muncul karena penanganan yang kurang baik pada hasil panen.
Masalah quality control ini bisa kita pahami karena industri pala di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat (PR). Hal ini terlihat dari data periode 2013-2022, yang menyatakan bahwa 99,76%, dari total luas lahan pala di Indonesia dikelola oleh PR. Hanya sebagian kecil, yaitu 0,24%, yang dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN).
Di sinilah dibutuhkan satu badan khusus yang akan menjadi regulator komoditas rempah agar kualitasnya terjaga, bahkan meningkat. Badan nasional rempah tidak saja akan menjaga kualitas, tetapi juga membuat regulasi yang mendorong industri rempah nasional untuk meningkatkan nilai ekspor pala olahan (value-added products), bukan mentah (raw materials).
Seperti kita ketahui, minyak yang berasal dari biji, fuli dan daun pala banyak digunakan untuk industri obat-obatan, parfum dan kosmetik. Jika ini bisa dimaksimalkan, maka akan tercipta banyak varian baru produk olahan pala sebagai obat-obatan, parfum, dan kosmetik dengan kualitas terbaik.
Dengan skema ini, niscaya akan terbentuk satu ekosistem industri rempah yang terstruktur dan masif hanya dari komoditas pala saja. Bayangkan jika ekosistem ini terbentuk di semua komoditas rempah (cengkeh, kayu manis, kapulaga, dll) dan semuanya terkoordinasi dengan baik di bawah satu badan khusus yang memiliki kewenangan dan lingkup strategis! Indonesia Emas 2045 jelas bukan mimpi belaka. Semoga.(*)