Chapter II
Awal kiprah jim untuk indiebanyumas.id jelas tak semulus pipi mbak Galgadot; hampir mirip dengan caranya memasuki level profesional jurnalistiknya di tingkat akademi. Bayangkan, seringkali ia harus serupa Batman yang tak pernah tidur malam.
Belajar merumus konsep berita layaknya mereka-reka buntutan, jam satu malam, pukul tiga pagi; yang barang tentu bukan timming ideal untuk terus terjaga bukan? Namun, menimbang yang ia bawa adalah kunci gerbang masa depan indiebanyumas, maka ia harus rela kehidupan malamnya terisi oleh suara jangkrik dan hewan nocturnal. Demi!
Usai berkali-kali dihancurkan tanpa balas oleh keadaan, banyak pihak mulai meragukan kualitasnya pada lini media. Meski secara teori, saya paham betul jika kesalahan dan blunder jim hanyalah tanda ia masih menjadi manusia, sebuah ketidaksempurnaan yang kelewat di besar-besarkan.
Kala itu, publik nyaris lupa bahwa Jim Morangga adalah mas-mas Banyumas tulen, alumnus Wahana Semesta Institute pula, yang salah satu syarat untuk lulus adalah sukses menulis studi tentang gejusmbulus-nya jurnalistik. Dan tentu kalian tahu, Banyumas adalah surganya para jurnalis handal nan cerdik akal.
Salah satu catatan penting yang saya ingat dari studi Jim Morangga adalah soal kemahirannya untuk menemukan satu evolusi menarik perihal permutasian konsep media jadul kepada era kekinian, yang kemudian ia formulasikan sedemikian rupa dari formasi baku hasil bangku pendidikannya menjadi sebuah produk Indiebanyumas.id nan mutakhir! 🙂
YA! Tak seperti jurnalis kebanyakan yang begitu konvensional dengan permainan kata model pria kartu keluarga, Jim adalah sedikit dari yang sangggup menciptakan konten plus-plus.
Chapter III
Situasi serba minus telah mengajarkan Jim sesuatu yang diyakini banyak orang bahwa sejatinya tak ada jurnalis yang bodoh. Intelligence Quotient (IQ) Jurnalistik yang konon hanya milik media arus besar adalah mitos belaka.
Karena sejatinya, semua hanya soal tersedianya waktu untuk membangun chemistry antar sesama tim kerja atau tidak, bagaimana menyampaikan aspirasinya kepada seluruh kru secara terbuka, dan, satu lagi, siap atau tidak untuk menyediakan ruang pertanyaan bagi segenap warga tentang makna esensial sebuah menu media yang yang sudah tercetus?
Pada salah satu sesi di tengah acara peresmian indiebanyumas.id, Jim secara terbuka menyatakan opininya tentang gaya jurnalistiknya, kurang lebih seperti berikut:
“Saya dulu bukan wartawan sekelas Putu Wijaya atau Rosihan Anwar yang bisa melancarkan jurus maut saat dikelilingi oleh keterbatasan. Ketika mewacanakan indiebanyumas, satu hal yang selalu saya pikirkan hanyalah kerja keras dan kedisiplinan yang saya yakini bakal membuat indiebanyumas.id menjadi kereta api terakhir menuju stasiun New York” ungkapnya.
Ia menambahkan, “Itulah kenapa tim kerja indiebanyumas.id adalah sekumpulan orang yang sudah harus paham luar kepala tentang sisikmelik dan instruksi yang saya berikan saat latihan dan ketika sebuah artikel hendak dituliskan.”
“Saya ingin semua kru mengerti bahwa strategi media itu penting untuk diselenggarakan dan bahwa mereka harus mampu melakukannya dengan baik, itu adalah semacam ketetapan.” ungkapnya dahsyat.
Bukan alasan yang janggal bila akhirnya kemudian Jim begitu menggemari seni mencampur antara bahasa batin dan bahasa isyarat pada tiap-tiap artikel yang diterbitkan. Yakni agar seluruh olahannya bukan sekedar menjadi deret tekstual, namun juga sebagai sumber tenaga spiritual.
(Bersambung)