Akses terhadap media untuk memenuhi hasrat informasi telah menjadi kebutuhan primer setiap orang. Pemicunya adalah kemajuan teknologi informasi dengan kehadiran perkakas yang semakin canggih. Pada masa ini, industri teknologi telah mampu merealisasikan ‘dunia dalam genggaman”.
Istilah ini sejajar dengan apa yang diutarakan oleh Thomas L. Friedman sebagai The World Is Flat. Dunia semakin rata, dan setiap orang bisa mengakses apapun dari sumber mana pun. Media sosial telah secara drastis mengubah cara jurnalis melakukan pekerjaannya, dari mengubah cara mereka menerima informasi dan ide cerita menjadi mengubah cara mereka berbagi cerita tersebut.
Fungsi-fungsi media sebagaimana yang selama ini dimiliki media-media konvensional, sekarang sudah dengan mudah diakses melalui jaringan internet. Contoh paling gampang adalah televisi yang ingin menyajikan program dengan tujuan menghibur hingga penyaji informasi yang pernah memiliki penonton paling banyak di seluru penjuru dunia, kini bisa disebut telah dikalahkan oleh YouTube sebagai media alternative bagi masyarakat yang ingin menyaksikan tayangan audio-visual. Bahkan tak sedikit program acara televisi di tanah air yang sekarang mengambil tayangan dari channel YouTube karena memiliki pemirsa yang jumlahnya fantastis.
Berbeda dengan media konvensional, kehadiran media yang terakses di internet juga memiliki keunggulan soal penyediaan waktu. Kreativitas yang tak terbatas, akses menjangkaunya yang bisa dilakukan dimanapun praktis membuat media social di dalam lalu lintas internet kian digandrungi, dan diterima sebagai hadiah special atas kemajuan teknologi informasi kepada manusia.
Momen yang tepat, kehadiran media sosial menjadi fenomenal. Awalnya masyarakat lebih banyak tertuju pada Facebook dan YouTube. Lalu, Twitter, Instagram, Tik Tok hingga Path berubah menjadi media sosial yang diminati banyak orang bahkan tanpa memandang sisi usia. Media sosial seperti yang kita tahu telah benar-benar mengubah dunia jurnalisme secara monumental, dengan cara yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun sebelum kebangkitannya yang kolosal.
Pengguna media sosial sering kali melaporkan berita melalui halaman mereka , berkali-kali telah meng-KO kecepatan jurnalis telah sepenuhnya mengubah konsep sebuah berita. Sehingga, jurnalis kini tak lagi menjadi manusia-manusia pertama yang mengawali berita besar apa hari ini, tetapi apa yang telah masyarakat tahu serta menjadi hangat diperbincangkan, lalu oleh jurnalis dikemas menjadi produk berita.
Saat ini, orang-orang menginginkan informasi real-time, itulah sebabnya banyak dari kita beralih ke situs media sosial seperti Twitter untuk tetap up-to-date dengan berita. Bahkan ditemukan bahwa dua pertiga orang dewasa AS mendapatkan berita dari media sosial, menunjukkan betapa populernya itu sebagai outlet media.
Hal ini kemudian menjadi ancaman bagi jurnalis. Jika mereka telah mengumpulkan berita secara langsung dari media sosial, yang sering terjadi, dan mereka menemukan sudut pandang baru yang belum ada tetapi terlalu lama duduk di situ, mereka berisiko melaporkan sudut baru tersebut terlebih dahulu. oleh pesaing lain, atau lebih buruk lagi, pengguna media sosial . oleh karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai bentuk jurnalisme paling mentah – menyediakan saksi mata dan laporan langsung dan merupakan saluran tercepat untuk berita terbaru.
Kemarin, misalnya, berita tentang pembubaran pertunjukkan seni budaya Jaran Kepang hampi tak luput dari posting berita di portal online tanah air. Dari portal media tingkat lokal, regional hingga nasional. Sumber awal berita yang menyita perhatian public di seantero tanah air ini datang dari tayangan video dengan keterangan seni budaya Jaran Kepang dibubarkan. Tak hanya publik biasa, berita ini bahkan disorot oleh Ketua Bidang Kajian strategis PP Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Mohammad Nuruzzaman.
Biz Stone, salah satu pendiri Twitter mengatakan, “Kami melihat peningkatan tweet dua kali lipat per detik saat cerita itu pecah.”.
Media Sosial Bakal Menggantikan Jurnalisme?
Saya semakin yakin, tidak. Bukan karena saya adalah pengikut aliran jurnalisme klasik. Kehadiran media sosial sebagai bagian dari kemajuan zaman telah dilalui jurnalisme beradab-abad sampai kemudian tercipta produk jurnalisme seperti yang kita kenal sekarang. Bentuk sebuah produk yang dibutuhkan manusia akan kebutuhan informasi seiring waktu telah mengalami perubahan-perubahan sehingga sampai pada bentuk yang ideal apabila diwujudkan secara benar.
Sedangkan media sosial, kecepatan dalam bergerak dengan pengguna aktif untuk hari ini dengan angka miliaran jiwa, juga begitu cepat melesat hilang karena acak. Meski jangkauan media sosial sangat bagus, ia tidak memiliki metode untuk mengawasi konten dan sumber untuk mencegah penyebaran cerita yang sepenuhnya fiktif.
Data yang pernah disebut-sebut bahwa terdapat 6.000-an tweet yang dibagi dalam tiap detik, itu sudah dipastikan usia berita yang tersebar melaluinya tidak akan pernah punya usia panjang. Akibatnya, isi berita yang tersebar melalui lalu lintas dalam satu media sosial kerap mengalami kekacauan.
Belum lagi dengan kemunculan fenomena berita bohong, palsu atau istilah lainnya. Dari sinilah saya akan membuang jauh ego tentang pilihan mengikuti aliran jurnalisme klasik, namun jelas akan menjadi rumit apabila generasi nanti tidak diingatkan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang laik, pantas, dan tak salah arah. Ada muncul data baru dari Pew Research Center yang menunjukkan 45 persen orang dewasa Amerika mengonsumsi berita di Facebook, ironisnya separuh jumlah konsumen berita di Facebook, mereka hanya bergantung pada situs itu dalam memenuhi kebutuhan berita.
Dalam beberapa hal, media sosial telah memperkenalkan lapisan baru dalam dunia jurnalisme; interaksi dan komunikasi dengan khalayak, yang dapat dimanfaatkan oleh para jurnalis secara serius. Beberapa keuntungan lain dari dimensi baru ini bagi jurnalis adalah mereka dapat mengambil bagian dalam pengumpulan berita yang lebih luas, menjangkau narasumber secara langsung, membangun hubungan pribadi, dan meningkatkan keterlibatan dengan khalayak, hanyalah beberapa di antaranya.
Banyak orang-orang mengatakan, jurnalisme sedang sekarat oleh kehadiran media sosial saat ini. Seorang tokoh terpandang sekaligus seoang pemimpin, bahkan secara pribadi mengatakan kepada saya dengan tanpa sikap ragu seidkitpun bahwa akan susah untuk bisa hidup media massa (jurnalisme). Media, langka duite. Begitu dia mengutarakan keyakinan itu kepadaku.
Barangkali sang tokoh ini telah merasakan sendiri kekuatan media sosial yang telah dipakainya dalam menerapkan strategi komunikasi publik. Saya tidak membantahnya, tetapi, dia lupa bahka media sosial dalam beberapa hal secara teknis merupakan perwujudan jurnalisme dalam kontek saluran yang memang telah dibuktikannya ampuh dalam menyampaikan berita kepada publik.
Namun saya yakin, bahwa media sosial dalam satu atau lain cara secara teknis adalah bentuk jurnalisme, karena itu adalah saluran yang memungkinkan orang untuk melaporkan berita. Namun, hal tersebut tidak menggantikan jurnalisme tradisional karena lebih dari itu, dapat digunakan untuk menyempurnakannya, dan keduanya dapat bekerja sama dalam menginformasikan dunia secara efektif. Juga jangan pernah mengesampingkan ketentuan-ketentuan dari beradab-abad jurnalisme hadir sebagai kebutuhan informasi manusia yang telah mengalami perubahan sampai pada wujud jurnalisme yang dianggap klasik ini.
Dua tokoh jurnalisme dunia, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, pada awal abad 20 menerbitkan buku yang kemudian dijadikan sebagai ‘kitab suci’ bagi seluruh wartawan di dunia. Buku berjudul ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’ itu memuat sembilan poin yang wajib dijalankan wartawan dalam menerapkan praktik jurnalisme. Poin pertama dari kesembilan itu menyebutkan, kewajiban Pertama Jurnalisme adalah pada KEBENARAN.
Sebagaimana dalam pengantar, Bill Kovach selalu mengingatkan bahwa Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awal dan sadarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi pondasi sebuah lorong. Setelah itu, Jurnalisme menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, yang membutuhkan bukan saja keterampilan dan kecerdikan, tapi juga kesediaan dan kemampuan untuk menjadi polisi lalu lintas, dan kemudian menjadi hakin dan jaksa bagi diri sendiri yang awas terhadap pelanggaran. Terdakwa Pertama memang bukan oang lain. Setelah berita ditulis dan dimuat, status terdakwa itu belum tentu selesai.
Angga ‘Indie’ Saputra
Berjuang untuk Media