Wartawan — setidaknya yang baik — percaya bahwa mereka bekerja atas nama publik. Mereka adalah para pengamat di dinding; penulis sejarah peristiwa di bukit berikutnya; pelindung hak masyarakat untuk mengetahui. Tom Rosenttial mempertegas akan posisi sebagai wartawan dalam artikel yang ia buat untuk American Press Institute.
Selanjutnya, penulis buku ‘Sembilan Elemen Jurnalisme” yang merupakan panduan wajib bagi seluruh wartawan di muka bumi itu menulis, tidak mengherankan bahwa orang-orang berpendapat, publik berbagi nilai-nilai untuk memandu pekerjaan seorang wartawan. Namun, apakah itu benar? Sejauh mana jurnalis, yang percaya bahwa mereka bekerja atas nama publik, mengetahui apa yang diinginkan publik dari mereka?
Bagi Tom, pertanyaan itu telah mengganggu benak pikirannya selama bertahun-tahun. Para pengkritik, dan mereka sebagai publik memang wajib hadir, menlontarkan pers bias, dan hari ini kian bias. Ini juga telah mengganggu pikiran saya dalam beberapa tahun terakhir, bagaimana transformasi media berubah sangat cepat tetapi informasi yang tersaji masih saja sama.
Membuka laman portal sendiri setelah beberapa hari harus beristirahat penuh, berlanjut menjadi meng-klik empat laman portal berita regional dan lokal dalam satu pekan. Sebagai portal dengan konten agregator, kami pun menjadi tak kuasa ketika akhirnya sama dalam memberikan sajian dari portal lain, demi memenuhi kebutuhan informasi publik. Lalu kesimpulan usai menutup piranti browser, definisi Tom akan tugas seorang wartawan masih menjadi tanda tanya bagi saya.
Sebab, sebagian besar dari portal yang menempati posisi teratas pada mesin pencari bernama google, porsi masih lebih banyak diisi dengan konten kutipan rilis dan siaran pers hubungan masyarakat (humas). Itu muncul mulai dari tingkatan daerah sampai pada laman yang disajikan oleh istana kepresidenan.
Tidak ada yang salah. Saya sendiri ratusan kali mengutip informasi dari laman-laman resmi kementrian hingga sekretariat kabinet yang sudah semakin baik dalam hal menyajikan ‘apa yang telah’ dilakukan pemerintah atas apa yang tengah terjadi. Sama dengan media arus utama tadi, saya pun tidak memberikan tambahan dari fakta lain sebagai pembanding. Itu jelas jauh dari ideal, ketika produk jurnalistik bersumber dari informasi tunggal, terlebih lagi datang dari pemerintah.
Di daerah, pernyataan seseorang yang memiliki jabatan tinggu sering dijadikan sebagai informasi yang dinilai seksi. Bahkan, kadangkala oleh media-media arus utama juga diletakkan pada main page. Terbaru, tanggal 6 Oktober 2021, hari kemarin, Bupati Banyumas Ir Achmad Husein, memberikan pernyataan kepada awak bahwa anak-anak sekolah (siswa) tidak diwajibkan untuk membeli seragam sekolah. Pernyataan itu juga sekaligus merupakan himbauan karena disampaikan orang nomor wahid di jajaran pemerintah di Banyumas.
Keterangan dari bupati itu memang bukan keterangan tunggal. Ya, karena setelahnya, Kepala Dinas Pendidikan mempertegas apa yang disampaikan oleh bupati supaya isi dari berita menjadi lengkap. Siswa dari jenjang mana, wajib dan tidaknya soal tak ada kewajiban membeli seragam sekolah itu diukur dari apa. Dan, sebenarnya ini menjadi ideal apabila publik dilibatkan untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi ketika anak-anak mereka kembali ke bangku sekolah untuk menjalankan pembelajaran tatap muka.
Hari ini, saya berharap ada yang membuat berita lain, setidaknya apakah publik atau warga memang terbebas dari kewajiban membeli seragam anaknya terutama bagi mereka yang baru masuk ke jenjang di atasnya, atau hanya sekadar naik kelas.
Saya yakin, sebenarnya rekan wartawan juga sangat paham akan idealnya berita tersebut. Tapi saya pun memaklumi, apalagi media saya hanya mengagregasi dari sumber lain. Justru itulah, malah kian tak jelas jika berbicara tentang idealnya kami
Contoh seperti tadi mirip sekali tatkala humas kepresidenan memberikan rilis perpanjangan PPKM Darurat Level 4 dimana tidak kita temukan kalimat yang menjelaskanan kenapa pembatasan itu tak berbanding lurus dengan penurunan kurva kematian warga.
Hal sama juga terjadi tatkala Humas Polri menyampaikan rilis pers dalam kasus penyerangan perempuan terhadap Mabes Polri pada Maret 2021 lalu. Media arus utama memunculkan berita sama, hanya sebatas terduga teroris itu merupakan lone wolf yang secara nekad bersedia seorang diri menjadi mortir, lalu menyerang ke markas kepolisian. Judulnya? Anda bisa kembali mencarinya di google. Bombastis.
Kebiasaan wartawan mengandalkan rilis polisi memang menjadi persoalan yang dilematis di ruang redaksi. Aparat penegak hukum yang kini dipimpin Jenderal Listyo Sigit tersebut memang memiliki informasi final atas sebuah peristiwa sebelum masuk dalam ruang persidangan. Atau, follow up atas peristiwa yang terjadi dari laporan warga masyarakat.
Saya punya pengalaman mencoba melakukan penggalian informasi dengan alih-alih menanyakan sejauh mana kasus itu dalam tahapan penyelidikan. Hasilnya, upaya untuk membuka komunikasi melalui cara mengirim pesan melalui aplikasi perpesanan whattsapp tak menghasilkan apapun.
Dari pengalaman tadi, saya tetap akan menjadi wartawan, seperti yang didefinisikan oleh Tom. Mengolah fakta, dan menghindari opini demi muara mengabdi kepada publik karena itu cita-cita supaya bisa mengemban profesi lebih bermartabat. So, cuek sajalah. Bahwa kemudian muncul data final dari kelembagaan pada isi berita media besar, atau mereka yang punya akses lebih baik, bagi saya sama sekali bukan persoalan.
Purnama Ayu Rizky dalam artikelnya di laman remotivi.id, mengutip artikel yang ditulis oleh Sallot, Steinfatt, dan Salwen (1996) yang menyebutkan, ada perbedaan cara pandang yang kontras dari wartawan dan humas ketika memproduksi informasi.
Purnama mencatat, dari penelitian mereka terhadap 400 awak media profesional yang terdiri dari 200 jurnalis dan 200 praktisi humas di New York selama Januari 1990, didapatkan nilai berita menurut kedua profesi. Masalahnya, selagi wartawan mengutamakan akurasi faktual, humas menempatkannya sebagai nilai berita yang paling tidak penting. Apa yang paling penting bagi humas adalah menggambarkan subjek secara positif, padahal hal ini yang membuat banyak rilis acap tak lolos di tangan redaksi.
Menurut Columbia Journalism Review, konten semacam ini menjadi penanda bahwa garis batas antara berita dan humas lebih kabur dari yang kita pikirkan. Kekaburan ini bukan kesalahan tunggal wartawan melainkan juga sistem media yang menuntut kuli tinta memproduksi konten yang tak masuk akal banyaknya. Belum ada riset resmi yang menyebutkan berapa total berita harian yang harus ditulis oleh wartawan media daring.
Masih menurut Purnama dalam artikelnya, dia menyebut dari obrolan dengan beberapa kawan, ada media daring yang mengharuskan wartawannya menulis hingga belasan berita pendek tiap harinya. Tak heran jika mereka mengandalkan rilis, mencacah berita, menerapkan strategi kloning dari wartawan lain, dan rentan terjebak plagiasi.
Menurut Columbia Journalism Review, hal ini menjadi dilema perusahaan media. Buat apa mereka menulis berita jika hanya mengutip siaran pers yang tak penting-penting amat? Pasalnya, menulis kembali siaran pers menjadi berita tanpa menambahkan konteks nyata, informasi terkait, atau opini berlawanan bukanlah jurnalisme melainkan tugas kehumasan.
Lalu, apabila semakin hari kita memperoleh sajian yang sama dalam ribuan sumber dari sekali klik dari genggaman smartphone Anda. Apakah informasi yang bersumber dari pengabdian publik sudah ada? Bila yang diharapkan sebaliknya, lalu bagaimana harus memilih informasi dari produk jurnalisme dari media-media arus utama yang dalam mendistribusikan beritanya masih samar mengabdi kepada publik?
Ini bakal menjadi pertanyaan yang cukup lama mengganggu pikiran saya, atau bahkan mungkin Anda.
Penulis: Angga Saputra