Angga Saputra
Pimred indiebanyumas
Penegakkan hukum formal masih saja belum dilakukan secara sat set. Akibatanya, sebuah perkara menjadi terkesan kurang memperoleh perhatian yang serius. Bahkan, dalam beberapa kasus hukum, karena perhatian yang terlalu lama itulah gampang sekali membuat publik lupa dan bisa ditebak, juntrungnya tak jelas.
Istilah ‘no viral, no justice‘ muncul sebagai respon masyarakat terhadap pilihan untuk mencari keadilan dengan bantuan publik. Ketimbang mengandalkan penegak hukum formal yang butuh lama penanganannya dan belum tentu juga kelar serta mendapat perhatian serius.
Ini adalah persoalan mengapa orang-orang lebih mengandalkan kekuatan netizen di media sosial daripada aparat penegak hukum?
Media sosial tak bisa kita pungkiri memiliki kekuatan besar sebagai sumber informasi dan pengaruh yang bisa mengubah keadilan hukum bagi korban.
Fenomena viral yang merujuk untuk informasi di media sosial, punya pengaruh besar dalam memperhatikan kasus-kasus yang senyap di masyarakat sehingga dapat menjadi perhatian publik.
Masyarakat mencari faktor eksternal agar ditangani. Hal ini wajar karena kita lelah terhadap penegakan hukum di Indonesia yang stuck, tidak ada progress.
Kasus Vina Cirebon adalah contoh terkini.
Polisi merilis tiga pelaku pembunuhan Vina Cirebon yang sampai saat ini masih berstatus Buronan alias Daftar Pencarian Orang (DPO). Identitas para pelaku diumumkan, tak lama setelah film Vina: Sebelum 7 Hari tayang di bioskop.
Film yang sebagian besar diangkat dari kisah nyata kasus pemerkosaan dan pembunuhan Vina Cirebon itu viral beberapa hari setelah penayangannya. Banyak netizen yang merasa pilu menyaksikan apa yang dialami korban, hingga marah karena sampai saat ini tiga pelaku masih buron.
Apalagi, salah satu pelaku yang belum berhasil diamankan itu diduga sebagai otak pembunuhan. Dia adalah Pegi alias Perong alias Egi. Hingga hari ini, teka-teki siapa sebenarnya Pegi masih belum terpecahkan. Kasus Vina Cirebon, masih terus bergulir seperti bola yang sedang dimainkan oleh tim sepakbola dalam posisi menyerang untuk melesatkan goal.
Speak up di media sosial atau di media massa memang bukan hal mudah ketika kasus itu belum memperoleh ‘restu’ untuk dipublikasikan kepada khalayak. Butuh keberanian, bukan saja oleh korban dalam sebuah kasus kejahatan, tetapi juga bagi pengunggah dan pewarta (jurnalis).
Ancaman, baik dari pelaku atau pihak yang berada di belakang pelaku sebagai pelindungnya adalah konsekuensi yang siap-siap diterima kapan saja. Ini di luar kerentanan dan resiko yang besar, UU ITE sebagai pasal karet, juga merupakah hal yang harus diwaspadai.
Belum lama, dalam satu pekan ini juga kita mendapati sebuah cerita yang cukup mengagetkan. Seorang korban penganiayaan yang terjadi di wilayah hukum Polres Banyumas, terindikasi mendapatkan risiko lebih dari tuntutan atas apa yang dialaminya.
Usai pelaporan atas tindakan terhadapnya, dirinya memperoleh ‘serangan’ yang cukup mengerikan. Sebuah paket dikirim secara online tertuju kepadanya yang setelah dibuka ternyata berisi tembakau yang diduga kuat masuk dalam jenis Narkoba.
Situasi memang menjadi tidak gampang dengan fakta-fakta seperti itu. Bahkan, ketika harus dihadapi oleh jurnalis ketika tetap saja menyampaikan informasi berita kepada khalayak yang mana tidak diinginkan oleh pihak tertentu.
Karenanya, dibutuhkan spirit bersama dari seluruh elemen masyarakat sipil untuk terus mengawal rasa keadilan bagi segenap bangsa supaya tidak lagi terjadi skenario dalam sebuah perkara yang berujung merugikan masyarakat kita
Jika penegak hukum terkesan lambat atau abai merespon laporan korban, maka langkah yang bisa ditempuh adalah melaporkan oknum aparat tersebut kepada lembaga yang bisa mendorong aparat bekerja. Kita punya lembaga independen yang punya power seperti Komisi Kejaksaan RI sebagai pengawas Kejaksaan, atau kepolisian yang diawasi oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Dengan rangkaian permasalahan yang ada di negeri ini, ketika keadilan itu muncul karena harus menunggu terlebih dulu diketahui publik, di hari-hari mendatang sudah seharusnya hal ini bisa diakhiri dengan kesadaran bersama. Jangan sampai, korban, para pendampingnya (lawyer) bahkan hingga jurnalis kemudian justru menghadapi masalah baru dalam proses untuk mendapat keadilan.