Suasana di sebuah desa, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah sangat asri dengan hamparan sawah dan kesibukan para petani menjemur padi. Saat itu seorang pria paruh baya yang tinggal di desa bernama Pasinggangan, Kecamatan Banyumas tengah tampak sibuk membersihkan mobil tua berwarna biru di halaman rumahnya.
Pria tersebut bernama Gitosewojo (85) atau dikenal dengan nama Eyang Gito, seorang tokoh masyarakat di wilayah tersebut. Eyang Gito merupakan sesepuh yang ikut terlibat bersama pemerintahan setempat terkait kisah cikal bakal Banyumas. Dia mulai menceritakan asal muasal berdirinya Kadipaten Banyumas kala itu (sekarang Kabupaten Banyumas) dengan merujuk pada sebuah tulisan sejarah berbahasa Jawa yang dibacanya dari Perpustakaan Penerangan Kecamatan Banyumas. Dia mengatakan telah membaca buku itu sejak tahun 1956.
Dari buku tersebut, dia mengisahkan berdirinya Kadipaten Banyumas berkaitan dengan keberadaan pohon tembaga di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas. Kisah itu tercatat dalam kisah Babad Banyumas.
Kala itu wilayah Banyumas termasuk bagian dari wilayah Kadipaten Wirasaba (sekarang terletak di Purbalingga) dipimpin oleh Adipati Wirasaba yang wafat karena dibunuh oleh utusan dari Kesultanan Pajang pada tahun 1557.
Hingga kemudian digantikan oleh putra menantunya yang bernama Raden Joko Kaiman atau Raden Bagus Semangun. Dia yang akhirnya menggantikan menjadi penguasa di Kadipaten Wirasaba kala itu dan diberi gelar oleh Sultan Pajang menjadi Adipati Wargo Utomo ke II, karena Adipati Wirasaba yang dibunuh itu bergelar Adipati Wargo Utomo I.
Adipati Wargo Utamo II mendapat wangsit agar membuka tempat baru yang berada di barat laut Desa Kejawar yang memiliki pohon tembaga jika ingin lestari dalam menjalankan tugas sebagai adipati.
“Yen sira pengin lestari nggonira jumeneng adipati, trukaha papan anyar kang dhumunge lor kulone Desa Kejawar kang ana wite tembaga,” kata Eyang Gito saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (6/3/2021).
Setelah mendapatkan ilham seperti itu, kemudian Adipati Wargo Utomo ke-2 yang juga dikenal sebagai Adipati Mrapat ini kemudian menghadap kepada ayah dan ibu angkatnya, yaitu Kyai Mranggi dan Nyai Mranggi. Dia menyampaikan bisikan yang didengar tersebut, orang tua angkatnya menanggapi dan menebut bahwa itu suara itu memang suara bisikan dari Yang Maha Kuasa.
Eyang Gito melanjutkan, mulailah kemudian Adipati Wargo Utomo ke II ini diajak mencari pohon tembaga tersebut kearah barat laut dari Desa Kejawar yang kala itu masih berupa rawa yang luasnya ke timur sampai dengan Sungai Serayu, ke utara sampai dengan Sungai Serayu, ke barat sampai dengan kaki pegunungan Dawuhan dan Pasinggangan, ke selatan sampai dengan kaki pegunungan Kejawar.
“Seluas itulah rawa di Banyumas ini, dan dirawa itu terdapat pohon-pohon yang banyak sehingga disebut hutan. Anehnya, Adipati Wargo Utomo ke II, bersama orang tua angkat dan para pengikutnya dari Wirasaba bisa menunjuk dan bisa memastikan bahwa inilah pohon tembaga,” jelasnya.
Dia mengatakan jika saat itu barangkali bentuk Pohon Tembaga berbeda dibanding pohon-pohon lain yang ada di hutan kala itu. Setelah dipastikan itulah pohon tembaganya, maka mulailah Adipati wargo Utomo ke II bersama rakyatnya beramai-ramai membabat tempat tersebut.
“Lumpur rawanya dibuang, dikeringkan. Pohon pohon yang ada ditebangi semuanya selain pohon yang ditunjuk tadi,” ucapnya.
Akhirnya tempat yang semula rawa dan hutan itu menjadi tanah yang kering dan bisa dihuni. Pembabatan itu dikisahkan rampung pada tahun 1571.
Keluarga itu kemudian melapor kepada Kesultanan Pajang yang menguasai wilayah tersebut.
“Jadi pohon tembaga ini sudah ada sebelum Adipati Wargo Utomo ke II dinobatkan sebagai pengganti ayah mertuanya. Sebelum Kabupaten Banyumas ada, awalnya bukan Kabupaten, ini Kadipaten. Jadi kerajaan, karena Adipati itu raja dan punya angkatan perang dan punya Patih juga,” ucap dia.
“Jelas (lebih tua dari usia kabupaten Banyumas) karena setelah Adipati wargo Utomo ke II dinobatkan, itu kemudian mendapatkan ilham, agar berpindah tempat dan membuka tempat baru yang disebut ada pohon tembaganya (cikal bakal kabupaten Banyumas),” tambahnya.
Eyang Gito menyebut, pohon tembaga masuk dalam kisah Babad Banyumas. Dia juga bercerita pohon yang memiliki diameter 30 cm dan tinggi lebih dari 10 meter ini sudah sejak dirinya masih kecil.
“Yang pasti setelah saya dilahirkan dan saya sudah disebut sebagai anak-anak, saya suka main jangkrik, dan saya sering mencari jangkrik di sekitar pohon Tembaga. Yang saya ingat pohon Tembaga kala itu, besarnya ya sama. Waktu itu kira-kira saya masih berumur 9 tahun-an,” ujarnya.
Dia menjelaskan jika pohon yang tumbuh bersebelahan dengan pohon Nagasari tersebut tidak pernah berubah sedikitpun, termasuk tinggi dan bentuknya. Hanya saja ketika musim kemarau tiba, pohon berwarna kuning bak tembaga yang berada di kompleks pemakaman tersebut daunnya akan rontok hingga menyerupai kayu bakar. Namun kondisinya akan kembali rimbun pada musim hujan.
“Sampai sekarang saya melihat pohon tembaga itu besarnya juga belum berubah, masih seperti itu,” ujarnya.
Selain itu dia mengungkapkan pohon Tembaga tampak tidak berbunga, dan tidak memiliki biji.
“Yang perlu kita ketahui, bahwa pohon tembaga ini tidak berbunga, sehingga tidak ada buahnya, dan tidak ada bijinya. Selain tidak berbunga, itu di bawah pohon tidak tukulan atau trubus yang biasa muncul dari akar. Jadi di bawah pohon tembaga itu bersih. Sehingga pohon itu otomatis tidak bisa dikembangkan,” ucapnya.
Dia menuturkan seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat yang penasaran dengan pohon tembaga. Terutama usai dia bersama pemerintah Kecamatan Banyumas menyatakan jika pohon Tembaga merupakan pohon langka yang bersejarah dan harus dilindungi.
“Banyak orang penasaran, termasuk Mas Guruh Soekarno Putra, serombongan dari Jakarta pernah meninjau ke situ. Akhirnya Dinas Perkebunan (Dinas Kehutanan dan Perkebunan) di Yogyakarta datang ingin membuktikan apa yang diketahui, setelah datang mengambil kulit kayunya dan dibawa ke Yogya, diteliti,” ungkapnya.
“Setelah meneliti itu, Dinas Perkebunan datang lagi mengatakan bahwa belum terdapat sel kayu yang sama dengan sel kayu pohon tembaga, dicocokkan dengan sel-sel kayu yang ada di dokumentasinya Dinas Perkebunan. Sehingga dinas perkebunan itu sementara mengatakan bahwa ini benar benar pohon langka, karena belum ada sel kayu yang sama,” lanjutnya.
Bahkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta saat itu, lanjut dia, ada beberapa pihak yang mencoba membudidayakan pohon ini. Pada saat itu sudah ditemukan sebuah teknik untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan yang memang susah dikembangkan, yaitu dengan teknik kultur jaringan.
“Seminggu kemudian dari Dinas Perkebunan itu mengabarkan bahwa daun yang dibawa dan dikembangkan dengan kultur jaringan sudah tumbuh akar. Kami menanggapi dengan senang, sehingga nantinya pohon tembaga ini tidak hanya satu. Tapi seminggu kemudian menghubungi lagi, bahwa akar yang tumbuh panjang ternyata kering, sehingga gagal usaha mengembangkan dengan teknik kultur jaringan,” ucapnya.
Setelah itu sampai dengan hari ini, yang mereka belum pernah datang lagi untuk meneliti pohon bersejarah tersebut.
“Bisa dibilang pohon itu satu-satunya di Banyumas, dan kalau dari Dinas Perkebunan mengatakan satu-satunya di Jawa karena belum ada sel yang sama. Yang jelas kalau di Jawa belum ada sel kayu yang sama,” tuturnya.
Diwawancara terpisah, sejarawan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Prof Dr Sugeng Priyadi, M.Hum yang melakukan penelitian tentang sejarah babad Banyumas mengatakan jika pohon tembaga memang masuk dalam kisah babad Banyumas.
“Bahwa Adipati Mrapat mendapatkan semacam petunjuk gaib, bahwa dia kalau ingin keluarganya, anak keturunannya kekal berkuasa di Banyumas maka harus membuka hutan di arah barat laut Desa Kejawar. Tetapi di barat lautnya pertemuan Sungai Pasinggangan dan Sungai Banyumas,” ucapnya.
Maka, lanjut Sugeng, daerah itulah yang menjadi kota situlah yang merupakan kota yang baru itu, lanjut dia. Di situ disebut bukalah tempat yang disebut Benering Kayu Tembogo. Dimana kayu Tembaga itu berada di sebelah selatan Sungai Pasinggangan, tempat Adipati Mrapat saat itu membuka ibukota baru.
“Iya (pohon itu cikal bakal Kabupaten Banyumas) pertanda kota baru yang dibuka oleh Adipati Mrapat,” ujarnya.
Dia mengatakan jika pohon tembaga termasuk tanaman langka, bahkan menurutnya tanaman itu tidak ada duanya. Meski ada orang yang menyebut ada pohon Tembaga di daerah lain, tapi menurut Sugeng jenisnya lain.
“Ini di Indonesia katanya satu-satunya, itu menurut ahli Botani yang pernah melakukan penelitian. Jadi ahli botani mengatakan bahwa pohon Tembaga itu merupakan pohon satu-satunya di Indonesia dan itu tidak pernah bisa dibudidayakan. Umurnya ya sudah tua, saya kira kalau 1571 sudah ada, ya sekarang usianya sudah 450 tahun lebih sesuai dengan umur Kabupaten Banyumas,” ucapnya.
Sedangkan penanaman Banyumas sendiri, kata dia berasal dari nama sebuah Sungai Banyumas yang berada di dekat dengan pohon Tembaga. Namun sayang, air Sungai Banyumas yang bertemu dengan Sungai Pasinggangan sudah mengecil dan dangkal atau bahkan mungkin hilang. Air dari pertemuan dua sungai tersebut akhirnya bernama kali Banyumas dan bermuara di Sungai Serayu.
“Nama Banyumas itu dari nama sungai, kan pikiran orang pohon Tembaga kalau kena sinar matahari warnanya seperti keemasan, tapi bukan dari itu. Tidak ada kaitannya dengan nama Banyumas, karena di situ sudah ada nama sungai Banyumas, jadi memang nama kota yang diambil dari nama sungai, sungai sudah ada sebelum wilayah itu di babad,” ujarnya.
Sementara menurut Kepala Seksi Pengelolaan dan Pelestarian Nilai Nilai Tradisi, Bidang Kebudayaan Dinporabudpar Kabupaten Banyumas, Mispan, mengatakan jika kisah pohon Tembaga memang menjadi saksi sejarah awal berdirinya Kadipaten Banyumas kala itu.
“Iya (pohon Tembaga) tetenger awal berdirinya Kadipaten Banyumas, istilahnya kerajaan kecil membawahi beberapa demang-demang. Saat itu Joko Kaiman (Adipati Wargo Utomo ke II atau Adipati Mrapat) sedang mencari lokasi baru yang ada pohon tembaganya, dan di situlah didirikan kadipaten,” kata Mispan.
Dia menjelaskan jika pohon yang usianya sudah lebih dari 450 tahun ini tertulis dalam kisah babad Banyumas berbahasa Jawa.
“Dalam konsep kami, awal Joko Kaiman mendirikan kadipaten di wilayah Banyumas setelah pulang dari tempat mertuanya (Adipati Wirasaba atau Adipati Wargo Utomo I), ditunjukkan ke arah yang ada pohon Tembaga, dalam wangsitnya begitu,” jelasnya.
Karena pada zaman dahulu, lanjutnya, tata geografis letak wilayah biasanya ditentukan dengan memohon petunjuk Tuhan atau para sesepuh, penasihat dari kadipaten tersebut atau raja-raja yang biasanya punya penasihat.
Dimana pada saat itu keluarga Wargo Utomo di Wirasaba membagi menjadi empat wilayah. Satu wilayah di Wirasaba (Purbalingga saat ini), kemudian di Banjar Pertambakan (Banjarnegara saat ini), kemudian Merden (Cilacap saat ini) dan kemudian Kejawar di Banyumas itu sendiri. Joko Kaiman kemudian, lanjut Mispan, melakukan semedi dalam lelapnya, hingga dapat isyarat tentang pohon Tembaga.
“Joko Kaiman yang sedang bersemedi mendapatkan wangsit di wilayah yang ada pohon tembaganya dan kebetulan ada bau harumnya dari pohon Mangir. Kemudian Joko Kaiman menggerakkan warga setempat untuk mencari dimana tempat yang ada pohon tembaganya dan yang berbau harum dari kayu Mangir itu. Kemudian ditemukan di situ,” ujarnya.
Jika bicara soal usia pohon Tembaga, lanjut dia ditarik dari saat Joko Kaiman datang saat zaman Kesultanan Pajang, lebih dari 450 tahun seperti lahirnya Banyumas. Mispan mengatakan pohon Tembaga kini menjadi cagar budaya yang dilindungi, dan masuk benda dilindungi negara.
“Saat ini dipagar besi dan dengan dipagar besi menandakan jika pohon itu sangat penting bagi masyarakat Banyumas khususnya. Sangat penting sekali karena ada cerita menyangkut berdirinya kadipaten saat Joko Kaiman,” ucapnya
Dia mengungkap berdasarkan penelitian dari Kementerian Kehutanan, pohon Tembaga dengan spesies seperti yang ada di Banyumas merupakan satu-satunya di dunia.
“Bahkan di dunia (pohon tembaga), itu bukan di Indonesia saja, di dunia. Kalau di lndonesia hanya ada di Banyumas itu, jadi rumpun tembaga itu di dunia hanya satu itu saja, di daerah lain tidak ada, dan dunia rumpun itu hanya ada di Banyumas,” jelasnya.
“Penelitian dari Dinas Kehutanan Banyumas melaporkan kepada Kementerian Kehutanan, lalu Kementerian Kehutanan turun dan memang dari arsipnya itu untuk jenis itu hanya ada di Banyumas, yang satu spesies tidak ada, hanya ada di sini,” lanjut Mispan.
Dia berharap ada penelitian lanjutan terkait pohon tersebut. Akan lebih baik lagi, kata Mispan, jika ada yang berhasil membudidayakan pohon ini.
“Jadi ke depannya dalam konsep biologi untuk mengembangkan pohon itu bagaimana, karena pohon ini tidak berbiji dan tidak berbuah, karena dalam konsep kita kalau pohon yang bercabang-cabang kan bisa dicangkok, mestinya pemerintah punya upaya itu. Dicangkok tapi khusus milik Banyumas yang masyarakat tidak boleh memiliki atau mungkin masyarakat boleh memiliki dalam upaya pelestarian. Karena kebutuhan kita itu ribuan tahun ke depan,” tutup dia.