Angga Saputra
Pimred indiebanyumas
Kemiskinan adalah persoalan multidimensi. Ia tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga mencakup politik, sosial, akses, dan berbagai hak-hak manusia lainnya.
Bukan hanya perkara keterbatasan, tetapi juga bagaimana satu permasalahan menarik permasalahan lain hingga si miskin berkutat dalam lingkaran masalah yang seakan tak punya ujung.
Kita sudah sering mendengar pembahasan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Banyumas yang disampaikan Pj Bupati Banyumas, Hanung Cahyo Saputro.
Saat menghadiri agenda Halal Bihalal Persaudaraan Satu Perahu yang digelar di Pendopo Wakil Bupati Banyumas, Minggu (28/4/2024), misalnya, Hanung Cahyo menyampaikan bahwa banyak sekali persoalan-persoalan di Banyumas yang harus segera dibenahi, diantaranya masalah kemiskinan ekstrem yang angkanya cukup tinggi.
Dikatakan Hanung, ketika berbicara 8 parameter kemiskinan ekstrem, maka banyak masyarakat Banyumas saat ini yang masih membutuhkan jamban, masih butuh rumah ‘didandani’, rumah yang belum tealiri listrik, dan itu belum termasuk persoalan masyarakat yang belum bekerja, dan masih banyak juga anak-anak yang hingga hari ini tidak bisa sekolah.
Hanung mentargetkan pada 2024 ini angka kemiskinan ekstrem di Banyumas bisa terselesaikan. Saat ini Pemkab, katanya, sedang mengupayakan untuk penyelesaian penggarapan sekitar 2000 rumah tak layak huni. Bagaimana dengan parameter lain? Ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah.
Dalam skala nasional, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Dalam instruksinya, Jokowi menargetkan menghapus kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah Indonesia pada Tahun 2024. Dengan demikian ditargetkan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada Tahun 2024 sebesar 0 persen.
Mampukah mencapai target tersebut?
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Berita Resmi Statistik Juli 2022 mengumumkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang.
Kabar baiknya, angka ini menurun 0,34 juta orang jika dibandingkan dengan kondisi September 2021. Begitu juga dengan persentase penduduk miskin, pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, menurun 0,17 persen jika dibandingkan dengan kondisi September 2021.
Sayangnya, penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin tersebut tidak diikuti dengan pemerataan kesejahteraan.
BPS mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia atau gini ratio sebesar 0,384 pada Maret 2022. Angka tersebut meningkat 0,003 poin dibandingkan kondisi Maret 2021.
Jika dilihat lebih detail secara spasial, ketimpangan di daerah perkotaan mengalami kenaikan yang signifikan, yakni 0,398 pada September 2021 menjadi 0,403 pada Maret 2022.
Ketimpangan adalah cerminan kemiskinan struktural. Perbedaan kondisi kesejahteraan di lapisan masyarakat menggambarkan ketidakmerataan akses bagi masyarakat untuk menguasai berbagai sarana ekonomi.
Sebagian golongan masyarakat tidak bisa memaksimalkan usahanya untuk turut serta menghasilkan sumber-sumber pendapatan. Sementara golongan lainnya justru bisa dengan mudah bahkan berlebih dalam mendapatkan sumber penghidupan.
Kemiskinan struktural adalah kondisi dimana banyak petani tidak memiliki lahan pribadi, atau memiliki lahan namun sangat sempit sehingga usaha pertaniannya tidak maksimal.
Ini pula yang terjadi dalam kondisi dimana banyak buruh yang tidak memiliki keahlian yang memadai sebab terbatasnya akses pelatihan keterampilan, sehingga mereka dibayar jauh di bawah standar minimal upahnya.
Kemiskinan struktural terus terbentuk dari ketidakmerataan modal input dan melahirkan ketimpangan kesejahteraan di masyarakat. Terus berulang tidak berujung seperti lingkaran setan.
Dalam arus lingkaran setan kemiskinan tersebut, munculnya kemiskinan ekstrem tidak dapat dihindari. Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, dimana pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut di bawah 1,9 dollar AS per hari PPP (purchasing power parity).
Ukuran ini berlaku sama di seluruh negara sehingga konsisten dan bisa dibandingkan.
BPS mencatat terdapat 10,86 juta orang atau sebesar 4 persen penduduk Indonesia yang termasuk kategori kemiskinan ekstrem pada Tahun 2021.
Merujuk Poverty & Equity Brief East Asia & Pacific yang menyebutkan bahwa pada 2021 nilai 1,90 dollar AS PPP setara dengan Rp 11.941,1 per kapita per hari, maka ada 10,86 juta penduduk Indonesia yang pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak lebih dari 12 ribu rupiah.
Angka ini sungguh sulit untuk dibayangkan mengingat harga kebutuhan pokok sehari-hari juga tidak pernah turun.
Bagaimana mungkin golongan penduduk miskin ekstrem mampu memenuhi kebutuhan primernya, untuk pangan sandang dan papan, dengan besaran rupiah tersebut.
Jangankan untuk modal input pengembangan usaha, memenuhi pangan minimal untuk kesehatan mereka saja mungkin sulit. Itulah kenapa keterbatasan modal dan akses, membuat mereka juga memiliki keterbatasan kemampuan untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Koordinasi dan kerjasama berbagai pihak adalah salah satu solusi untuk dapat mencapai target menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia hingga secara khusus di Banyumaa. Setiap institusi negeri punya wewenang dan fungsi masing-masing, namun harus dipastikan bersinergi untuk tujuan yang satu.
Dengan kata lain, output dari kebijakan masing-masing harus mengarah pada sasaran yang sama, yakni membuat persentase penduduk miskin ekstrem sebesar 0 persen. Evaluasi dan monitoring rutin harus dilakukan untuk memantau prosesnya.
Dalam kolaborasi tersebut, fokus wilayah yang memiliki persentase penduduk miskin ekstrem harus ditetapkan. Jika sudah ditetapkan, pemerintah daerah yang memiliki persentase penduduk miskin ekstrem harus lebih dipantau.
Pemerintah harus melihat lebih dalam lagi, indikator mana yang menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan ekstrem di wilayah, termasuk salah satunya di Banyumas.
Melihat lebih dalam akar ketimpangan yang masih belum tergoyahkan, ini seharusnya menjadi kunci langkah penguasa dalam meretas sulitnya mengatasi persoalan pengentasan kemiskinan. Akan lebih menjanjikan jika kebijakan-kebijakan dalam percepatan pengentasan kemiskinan tidak mengabaikan kondisi ketimpangan ini.
Bahwa memang ada ketidakmerataan yang nyata bagi penduduk dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan. Dan perlu keseriusan berbagai pihak untuk menghilangkan kesenjangan itu.
Dari banyak pihak itu, tentu saja kita punya harapan besar terhadap seorang pemimpin yang punya visi dan misi untuk meretas batas-batas yang menyulitkan pengentasan kemiskinan ekstrem ini terutama di Banyumas.
Pilkada 2024 semakin dekat, secara umum, partai politik tampaknya masih suka main comot “kader” dari sembarangan kalangan. Partai politik seperti ini maunya enak saja, sehingga cenderung memilih kader hanya berdasarkan faktor pragmatis, yaitu uang, dan ketenaran.
Siapa yang memiliki uang? Mereka adalah para pengusaha kaya, para mantan pejabat kaya, atau para figur terkenal lainnya.
Siapa yang memiliki ketenaran? Mereka yang sudah berupaya keras selama ini dalam mengejar publisitas. Entah, apakah mereka peduli atau tidak terhadap persoalan kemiskinan ekstrem yang sedang menjadi persoalan, dan terus menjadi persoalan tanpa ujung.
Karena sudah sering, soal kapasitas kepemimpinan, dan keterampilan mengelola daerah tidak menjadi prioritas. Itulah sebabnya kita terus menerus gagal menemukan pemimpin sejati yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Dalam konteks ini, harapan besar tentunya agar Partai politik juga punya rasa berkewajiban melakukan pendidikan politik untuk kader-kader yang direkrut. Disitu antara rekrutmen politik dan pendidikan politik terkait. Tujuannya untuk mendidik kader-kader pilihan bukan hanya sebagai politisi tetapi juga pemimpin yang negarawan.
Mereka haruslah berasal dari individu yang memiliki latar pendidikan yang baik, pelatihan yang cukup, dan pengalaman yang banyak dalam soal kepemimpinan, manajemen, moral, politik, organisasi dan lain-lain.
Jika rekrutmen dan pendidikan politik ini berhasil maka parpol tidak lagi memungut “kader” dari pinggir jalan, lalu dengan modal uang serta popularitas diberikan kepada rakyat untuk dipilih.
Dalam tahun politik 2024, di babak akhir dalam periode Pilkada, semoga ada secercah harapan untuk kita semua agar ada perubahan dan harapan baru dari munculnya pemimpin baru bagi kehidupan kita khususnya di daerah kita sendiri, Banyumas.