Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
The pursuit of justice. Inilah ultima kita dalam menghadirkan negara pancasila. Dan, dalam “mempraktekkan serta mentradisikan keadilan,” kita bisa memulai dengan memahami dahulu apa itu kedaulatan dan kemerdekaan.
Mari kita mulai dari buku Kitab Kedaulatan (KK: 2017). Juga tulisan pidato kunci di Udayana tahun 2018. Yang pertama merupakan sebuah riset serius soal kedaulatan sebagai tulangpunggung kemerdekaan. Yang kedua diperuntukkan untuk wisudawan agar tegar mempertahankannya dalam kehidupan. Di sini, pertanyaannya kemudian, “Mengapa diskursus kedaulatan menjadi penting kita ungkap kembali?”
Sebab, kulihat kini kita memeluk masa lalu dengan dua mata terpejam; hati tertidur; nalar terpekur, sehingga gagal menapaki masa depan. Kaki kita, pikiran kita, jiwa kita dan cita-cita kita terpenjara oleh cerita-cerita masa lalu yang terputus sama sekali dengan masa depan warganegara.
Terlihat kehidupan dan zaman kita bernegara dibiarkan orang lain menjajah dan menjarah dengan segala daya upaya. Seperti tak punya arah bahkan pasrah, kita ikuti semua petuah penjajah.
Karenanya, agar kemerdekaan tak muspro, kita harus mulai terus membuka mata. Kapan dan di mana? Tentu dalam forum nusantara studies dan forum-forum postkolonial yang paling dahsyat plus dialog-dialog seterusnya guna memastikan terang masa depan!
Dalam terang cita-cita itu, kita tahu bahwa kegelapan ini berasal dari agensi dan proxy pengkhianat yang berniat menghapus Pancasila. Mereka punya road map neoliberal: negara merdeka yang dirubah menjadi negara jasa dan berujung menjadi negara konsumen.
Sejarah mengatakan, basis neoliberalisme adalah individualisme, keinginan, ketamakan, dominasi dan ketimpangan (lima hal).
Akhirnya mereka bangga menumpuk utang, memupuk oligarki, membela konglomerasi, memalaki warganegara. Menurunkan daya beli, menghancurkan daya bayar, melenyapkan daya hidup. Itulah prestasi besar neoliberal.
Mereka mengkhianati dan menghapus road map pancasila: negara merdeka yang ditujukan untuk menjadi negara produktif dan berujung pada bentuk negara progresif.
Karenanya, basis pancasilaisme juga lima: kebersamaan, kebutuhan, keselarasan, gotong-royong, kemerataan. Hal yang kemudian menghasilkan kedaulatan negara: keadilan, kemakmuran, kebenaran dan keindahan warganegaranya.
Di sisi inilah kita perlu pembacaan ulang atas sembilan makna daulat: yaitu daulat ideologi, daulat politik, daulat ekonomi, daulat sosial, daulat budaya, daulat pertahanan-keamanan, daulat agama, daulat iptek dan daulat pembangunan.
Rendra (2006) menulis, “namun daulat manusia dalam kewajaran hidup bersama di dunia/Harus menjaga daulat hukum alam/Daulat hukum masyarakat/Dan daulat hukum akal sehat.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita mesti keluar ke jalan raya/Keluar ke desa-desa/Mencatat sendiri semua gejala/Dan, menghayati persoalan yang nyata.
Tanpa ide dan praktik daulat, Renda melanjutkan sajaknya, “Bangsa kita kini seperti dadu/Terperangkap di dalam kaleng utang/Yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa/Tanpa kita berdaya melawannya/Semuanya terjadi atas nama pembangungan/Yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tunggu ketikan berikutnya. Salam.(*)