Jalan Terjal Meretas Sengketa
Proyek pembangunan fisik yang pernah akrab di telinga warga Banyumas dengan istilah mercusuar, terjadi ketika Banyumas untuk pertama kali memiliki seorang kepala daerah dari hasil pemilihan langsung. Mardjoko, yang pada 2008 silam menorehkan sejarah sebagai kepada daerah itu, adalah sosok yang cukup kontroversial karena berani mengubah struktur bangunan Alun-alun Purwokerto meski harus menghadapi resistensi dari berbagai elemen masyatakat, khususnya pegiat budaya.
Sebagai Bupati Banyumas yang punya kekuasaan di pemerintah, Mardjoko tancap gas. Bupati kelahiran Notog itu mencanangkan program mempercantik kota dengan membangun sejumlah tempat yang kemudian disebut proyek mercusuar. Taman Rekrasi Andang Pangrenan, Taman Balai Kumambang, taman kota, serta puluhan taman-taman lain sampai di tingkat kecamatan. Mercusuar juga dilengkapi dengan perombakan jalan seperti Jalan Dr Angka yang kini sudah tampak lebar serta asri dtanpn banyaknya pepohonan di pinggirannya.
Pada awalnya, kebijakan Marjoko banyak ditentang. Meski jika mau jujur, saat ini warisan yang ia tinggalkan telah menampakkan wujudnya yang baik. Kebijakan membuka investasi selebar-lebarnya pun menjadikan kota ini kian lengkap sebagai kota yang sejak dulu dikenal dengan sektor jasa dan perdagangan. Berdirinya mall, juga kian menjamurnya bangunan hotel yang lumayan megah sudah tepat ketika geliat wisata juga seiring sejalan tumbuh pesat.
Rezim berganti. Setelahnya, kota Purwokerto juga mengalami pertumbuhan, tetapi lebih pada sektor usaha menengah. Dalam 7 tahun belakangan, sektor kuliner bagai jamur yang sedang tumbuh di musim hujan. Sektor lain yang sudah berjalan, jasa dan perdagangan tetap terus menggeliat. Namun, dari dinamika perkembangan kota dengan ragam problematikanya, ada satu persoalan besar yang hingga hari ini seperti tak bisa ‘disentuh’, Sengketa Kebondalem.
Sebuah tempat di tengah kota, yang dulu menjadi pusat keramaian kota Purwokerto, kini bagai museum bangunan mangkrak. Sejak Mardjoko yang tak pernah takut akan kritik tatkala cercaan menghujam akan langkahnya menata kota. Lantas peran sebagai kepala daerah diganti Achmad Husein yang tak lain wakilnya dulu. Sengketa Kebondalem belum berakhir jua.
Peran Husein sejak menjadi Bupati Banyumas dari 2014 lalu dalam menyelesaikan sengketa Kebondalem sebenarnya juga dilakukan dengan berbagai jalan. Sayangnya, jalan yang ia tempuh tetap belum berbuah keberhasilan. Entah dimana letak ‘njlimetnya’ dalamnmengurai persoalan ini. Padahal, pemerintah juga memperoleh amunisi dukungan secara politik dari masyarakat yang ingin penyelesaian sengketa kebondalem berakhir. Singkat kata, langkah itu mandul. Bahkan elemen masyarakat kemudian seolah surut semangat.
Bagaimana cerita sengketa Kebondalem begitu alot untuk diurai?
Kabar penyelesaian sengketa, terakhir dikabarkan lewat berbagai media massa yaitu tentang adanya perbuatan melawan hukum. Seperti apa?
Seperti diketahui sengketa Kebondalem kembali ke babak lanjutan. Kali ini diungkapkan adanya tindak perbuatan melawan hukum dalam perkara aset tanah dan bangunan milik Pemerintah Kabupaten Banyumas yang sekarang dalam penguasaan PT Graha Cipta Guna (GCG).
Kasus sengketa yang sudah bertahun-tahun tak pernah menemui titik terang itu saat ini dalam penanganan penyidik Tipikor Bareskrim Mabes Polri. Sengketa yang mempersoalkan tanah seluas 6.571 m2 dan 51 rumah toko di Kebondalem itu bahkan sampai ditarik hingga ke
Kementerian Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI.
Sejumlah pihak sebenarnya sudah memperoleh bocoran tindak lanjut mengenai kasus ini melalui undangan daru Kemenpolhukam dan disampaikan ke indiebanyumas.id. Dalam undangan rapat tertanggal 19 Maret tersebut, Kemenpolhukam menyebut pembahasan dalam rapat yakni tentang permasalahan pengaduan masyarakat terhadap konflik berlatar belakang lahan Kebondalem Purwokerto.
“Hasil rapat koordinasi di sana memuat adanta penemuan perbuatan melawan hukum dalam penguasaan aset,” kata Ananto Widagdo selaku pengadu yang mewakili masyarakat Banyumas.
Perbuatan melawan hukum yang dimaksud Ananta dalam poin rapat koordinasi tersebut yakni adanya kesepakatan Pemkab Banyumas dengan PT GCG pada tahun 2016 yang isinya berbeda dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, muncul dugaan adanya kerugian negara yakni aset Pemkab yang tidak dimiliki oleh Pemkab Banyumas.
Ananto, mengungkapkan, dalam penyilidikan perkara tersebut ada kendala dengan belum didapatkanya dokumen perjanjian Pemkab Banyumas dengan PT GCG yang asli dari Pemkab Banyumas. Dia mengutip apa yang disampaikan oleh Kombes Indarto, Kasubdit IV Tipikor Bareskrim Mabes Polri.
Kemudian dalam pemeriksaan sejumlah saksi juga mengalami kendala teknis yakni harus melalui prosedur melalui Mahkamah Agung untuk memeriksa hakim dan panitera. Setelah nantinya ditemukan adanya perbuatan hukum maka penyidik bisa memeriksa kemana dan siapa saja.
Rapat koordinasi yang berlokasi di Bogor itu dipimpin Asisten Deputi Kamtibmas Kementerian Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Drs Ervin Chahara Rusmana. Dihadiri Sekretaris IV Kamtibmas Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jamdatun, Direktur Tipikor Bareskrim, Sekda Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Kanwil BPN Jateng, Kabag Hukum Setda Banyumas, Kajari Purwokerto, Kepala Kantor Pertanahan Banyumas dan pelapor.
Sebelumnya, dalam kabar terakhir
penolakan materi gugatan yang diajukan Pemkab Banyumas terhadap PT Graha Cipta Guna (GCG) Purwokerto terkait pengelolaan aset di komplek pertokoan Kebondalem. Keputusan itu disampaikan dalam sidang di Pengadilan Negeri Purwokerto pada 18 Januari 2021 oleh majelis hakim diketuai Nanang Zulkarnain Faisal dan hakim anggota Deny Ikhwan dan Rahma Sari Nilam P. Dalam amar putusan nomor 36/Pdt.G/2020/PN.Pwt, menyatakan, gugatan provisi tidak dapat diterima sepenuhnya. Namun dalam pokok perkara mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
Melansir suarabanyumas.com
majelis hakim m penggugat telah melaksanakan kewajiban pembayaran tahap 1 kesepakatan bersama tanggal 8 Desember 2016 sebesar Rp 10,5 miliar. Majelis hakim juga menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya, serta menghukum penggugat dalam hal ini Pemkab Banyumas, untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 525.000.
Sidang dengan keputusan penolakan itu bermula dari langkah Pemkab kembali mengugat PT GCG. Sebab, telah keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap yaitu putusan eksekusi nomor 14/BA.pdt.Eks/2010/PN.pwt jo No. 46/Pdt.G/2007/PN.pwt Jo. no 88/Pdt/2008/PT.Smg Jo. No. 2443 K/Pdt/2008 jo No 530 PK/Pdt/2011.
Atas dasar keputusan tersebut kemudian terjadi kesepakatan bersama tanggal 8 Desember 2016, sebagai wujud pelaksanaan atas putusan eksekusi. Kesepakatan bersama ini dianggap Pemkab Banyumas mengandung kekhilafan sehingga muncul gugatan kembali.
Namun, gugatan tersebut ditolak oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa pembayaran denda tahap 1 sebesar Rp 10,5 miliar adalah benar dan sah dan kesepakatan bersama tanggal 8 Desember 2016 tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan putusan Mahkamah Agung.Terkait materi gugatan yang menyangkut luas objek sengketa dimana dalam kesepakatan bersama seluas 20.637 meter persegi, namun berdasarkan bukti surat bertanda P7 dan keterangan saksi, luas lahan adalah 22.652 meter persegi dan adanya perbedaan luas tanah ini yang menjadi salah satu dasar gugatan.
Bersambung