Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami gangguan mental.
“Tapi kalau caleg mencalonkan diri tapi tujuannya tidak jelas, kemudian kalah, pasti kecewa berat,” kata Nova pada diskusi daring, Senin. Nova mengatakan, banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg kemudian terlilit hutang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya.
Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materil, dan berujung kekalahan. Dengan tujuan yang baik, atau benar-benar ingin berjuang untuk negeri, menurut Nova, akan memperkecil kemungkinan masalah mental yang dialami.
Nova menyebut, tak sedikit caleg kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima kekalahan tersebut. Bahkan, tidak hanya caleg yang berobat, namun keluarga hingga tim sukses mereka juga tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental akibat kekalahan tersebut.
“Semua kembali ke intensi atau tujuan dari calegnya, kalau intensinya memang kompetisi sehat, tujuannya jelas, punya visi-misi dan lain sebagainya, saat kalah atau menang itu akan sama seperti di kontestasi lainnya,” Nova menjelaskan. Mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik adalah modal utama bagi para pemimpin dan calon legislatif. Menanamkan dalam jiwa untuk siap kalah adalah sebuah keharusan.
Disamping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia. Untuk itu, Nova menganjurkan para caleg untuk mempersiapkan mental sematang mungkin untuk mengikuti dinamika Pemilu 2024 yang akan datang. Hingga saat ini, sejumlah rumah sakit di berbagai daerah juga telah menyiapkan berbagai kamar dan layanan untuk menangani caleg gagal pada pesta demokrasi mendatang.
Psikiater dan Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional dr Nova Riyanti Yusuf, Sp.K.J. mengatakan bahwa banyak caleg gagal yang menjadi pasiennya karena terlilit utang, kecewa berat, dan ingin mengakhiri hidupnya. Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materi, tetapi ternyata berujung kekalahan. Hal faktor utama masalah mental. Ada yang sakit jiwa menjadi gila, keluarga dan tim sukses mereka juga ikut stres.
Pengamat sosial Iwan Januar mengatakan, hal ini disebabkan demokrasi yang notabene merupakan sistem politik yang tidak manusiawi. Sistem ini membuat banyak orang memuja jabatan dan materi, akhirnya depresi karena besarnya modal telah digelontorkan. (Media Umat). Sementara itu, pengamat politik Suswanta Abu Alya mengatakan bahwa kampanye bisa menghabiskan Rp200 juta sampai Rp6 miliar.
Biaya yang sangat besar ini memaksa para caleg memutar otak mencari dana memenuhi biaya kampanye. Mereka jorjoran mengeluarkan biaya politik demi meraih kekuasaan, hingga harus mencari banyak cukong. Para cukong pun pasti akan menagih janji untuk mengembalikan modal hingga yang dipikirkan para caleg hanya uang dan uang. Jika kalah, mereka menjadi gila karena terlilit utang. Kalau menang, mereka juga menjadi gila karena harta dunia.
Akhirnya, mau menang maupun kalah, keduanya bisa menyebabkan para caleg menjadi “gila”. Sejatinya, diakui ataupun tidak, praktik demokrasi telah menjadikan kedaulatan berada di tangan segelintir orang, bukan di tangan rakyat. Segelintir itu ialah para pemilik modal. Jadi, apabila perubahan yang dikehendaki disebut demi rakyat, nyatanya itu hanya tipuan belaka. Ini karena para pemilik modallah yang mampu mengendalikan kekuasaan.
Setiap lima tahun sekali pada pesta demokrasi, tipu-tipu itu terus saja terjadi. Presiden AS kedua John Adams sendiri pernah menyatakan bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatannya, dan akan menghabisi dirinya sendiri. Demokrasi tidak akan pernah menjadi penyelamat kehidupan, melainkan justru memasukkan umat ke dalam jurang kemiskinan dan keburukan.
Setidaknya ada tiga poin sebab pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengantarkan para kontestannya mengalaminya. Pertama, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Bukan lagi rahasia jika para kandidat butuh biaya selangit untuk bisa maju. Misalnya, disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar—Rp4,6 miliar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk menjadi capres.
Biaya tersebut digunakan untuk berbagai macam, salah satunya akomodasi ke daerah pemilihan, mulai dari transportasi, penginapan, makan, dan sebagainya. Ada juga biaya kampanye, seperti produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan, dan logistic lainnya. Caleg pun harus membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Ini belum bicara biaya “serangan fajar”.
Wajar jika pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari money politik. Bayangkan, para kandidat harus menguras harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri. Tidak jarang dari mereka yang akhirnya berutang dan mencari sponsor. Alhasil, jika gagal, mereka akan kehilangan harta benda dan harus mengembalikan semua utangnya. Inilah yang menjadikan mereka akhirnya kena mental ketika gagal.
Kedua, mayoritas caleg bertujuan kekuasaan dan materi. Tidak dimungkiri, ada beberapa dari mereka yang tulus Ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Hanya saja, selain jumlah mereka amatlah minim, juga keberadaan mereka akan terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta. Dikatakan demikian sebab sistem demokrasi hanya akan menghimpun para petarung yang tidak paham agama.
Mereka akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi, tidak peduli haram halal, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat. Dari sini saja, kandidat yang ikhlas akan tersingkir sebab mereka tidak akan mau melakukan kecurangan. Kehidupan sekuler memang melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia.
Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Taala. Standar kebahagiaannya hanyalah materi dunia. Wajar jika jabatan menjadi Impian besar mereka yang dianggap mampu menaikkan harga diri atau prestise. Jabatan pun merupakan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas hidup. Wajar juga jika kandidat sekuler yang lemah imannya, depresi saat kalah, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.
Ketiga, jika menelisik lebih dalam atas segala yang terjadi pada setiap pemilu dalam demokrasi, kita akan mendapati bahwa para pemenang tidak sama sekali menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan yang ditetapkan tidak pernah memihak rakyat. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah ilusi yang tidak pernah terealisasi. Faktanya, kebijakan yang ditetapkan hanya berputar pada kemaslahatan oligarki. Lihat saja sejumlah UU pro oligarki, ditetapkan di tengah penolakan rakyat banyak.
Alhasil, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terjamin dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, sejatinya, pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenang adalah mereka yang tunduk pada pengusaha.
Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.
Walhasil, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah SWT dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.
Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang pada sanak saudara dan kolega.
Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah SWT yang ia harus syukuri. Fenomena caleg stres akibat kalah di kontestasi hanya ada dalam masyarakat sekuler yang menjauhkan aturan Allah SWT dalam setiap aktivitasnya.
Sistem politik demokrasi menjadi jalan untuk menghimpun para kandidat yang gila kuasa dan harta sehingga gangguan mental akibat kalah menjadi niscaya. Pemilu dalam demokrasi tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali keburukan. Oleh karenanya, kembali pada sistem politik Islam adalah sesuatu yang urgen dilakukan agar kehidupan umat manusia bisa kembali mulia. (/Jahut)