Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Sambil menunggu bukber, kubertanya apa kabar arsitektur ekopol Indonesia? Jawaban kita pendek: “Keterjajahan Baru.” Apa buktinya? Data riil di BPS yang menyebut gini ratio Indonesia saat ini menyentuh angka rata-rata 0,40. Jika berkaca dari konflik sosial di seluruh dunia, situasi di Indonesia sudah di tahap lampu kuning. Sebab, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi penyebab utama revolusi modern dan konflik masyarakat modern.
Miskin dan timpang ini siapa penyebabnya? Ada dua pelakunya: normatif dan faktual. Jawaban normatifnya, pembuat kemiskinan kita adalah penjajah (internasional dan lokal).
Jawaban faktualnya, pembuat kemiskinan kita adalah lima setan modernitas: 1)Unholly Trinity: IMF, WB, WTO. 2)Mafia Berkeley yang bermetamorfosis menjadi neoliberalisme. 3)Lembaga Kepresidenan. 4)Lembaga Perbangkan atau Bisnis Finansial. 5)Segitiga Setan Nasional yaitu Bappenas, BI, Kemenkeu.
Penjajahan oleh lima setan modernitas inilah yang menghasilkan “satu persen orang terkaya di negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia.” Sisanya menjadi rakyat paria yang di peras saat kosong perut dan pikiran.
Itu artinya kita memiliki problem sangat besar yang tidak bisa diselesaikan lewat kajian arabisme maupun neoliberalisme. Kedua metoda itu “gatot” alias gagal total. Sebab realitasnya “kaum urban tetap miskin, kaum pribumi jadi babu.” Jadi, apalagi yang bisa dibanggakan dari dua metoda itu?
Tentu kita tak bisa diam. Yang bisa dan harus kita lakukan adalah bukan berharap dari elite-elite dan metoda mereka. Sebab mereka sendiri adalah produk pasar liberal yang tidak mungkin bertindak konstitusional.
Kita harus kudeta. Sebab jika iman pada pemilu liberal diberlakukan, maka siapapun yang menang, ia tak berkuasa. Apalagi kalau cuma modal culun, begundal dan jenderal.
Kenapa kudeta pilihannya? Sebab, para oligark ini menguasai sedikitnya 6000 Triliyun di semua sektor dan struktur ekonomi Indonesia (APBN kita cuma 2000 Triliun, GDP kita 12.000 Triliun). Mereka awalnya menyimpan dana itu di Singapura dan Swiss. Kini dana itu sudah aman masuk ke Jakarta via tax amnesty dan UU Penghapusan Pajak (ini jelas kamuflase menghalalkan uang rampokan).
Dari mana mereka mendapat modal? Dari kolusi dan merampok uang warganegara. Awalnya konsesi dari Soeharto. Kedua dari perlindungan serdadu. Modal terbesar via perampokan finansial (Bank Bali, Papan, BLBI, Indover, Century, dll).
Ketiga via mafia minyak (SKK Migas, Kontrak Karya SDA, Petral, Masela, Tangguh, Cepu, dll). Keempat via infrastruktur (Tol, Track, Pelabuhan, Bandara, Wisma Atlet, Hambalang, Bulog, dll). Kelima via selundupan ekspor-impor dan pengemplangan pajak. Keenam via monopoli sembako. Ketujuh via developer dan pengembangan perumahan elite plus integrasi kota-kota baru.
Kedelapan via black market (prostitusi, judi, narkoba, jual-beli manusia, money changer, valas dll). Kesembilan via pencucian uang dengan mendirikan bank, parpol, media koran, media televisi, media web, ritail, senjata, terorisme, olahraga, sauna, kontes-kontesan, dll).
Oligark ini mempekerjakan lebih dari 11 juta orang dan didireksi oleh alumni-alumni dari PT terbaik dalam dan luar negeri serta dijaga oleh 10 alumni terbaik dari AKABRI dan AKPOL. Jendral-jendral dan para profesor banyak yang jadi komisarisnya.
Dalam negara lemah dan pemerintahan kacau (presidennya culun dan bego) mereka makin menggurita: tak tersentuh. Sebaliknya merekalah yang mengatur dan menentukan dunia, negara dan pemerintahan. Sebab mereka juga yang membiayai pemilu, KPK dan seluruh agensi penegak hukum plus memiliki sekolahan, universitas plus pesantren terbaik.
Akhirnya, negara menjadi swasta. Apa ciri-cirinya? Pertama, pemerintah mencitrakan kerakyatan, menihilkan dentuman. Kedua, pemerintah gagal menemukan solusi, berhasil menguasai kursi. Ketiga, pemerintah berhasil menumpuk hutang, gagal meredam berang. Keempat, pemerintah surplus cacian, minus gagasan.
Kelima, terjadi industrialisasi, minus lapangan pekerjaan. Keenam, kebijakan fiskal luas, defisit stimulus. Ketujuh, interkoneksitas perbangkan, alpa kemudahan. Kedelapan, muncul daya beli tanpa produktifitas.
Kesembilan, ada stabilitas tanpa akselerasi. Kesepuluh, terjadi amnesia masal pada cita-cita proklamasi, konstitusi dan Pancasila.(*)