INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

Alasan Orang Bisa Jadi Teroris dan Bertindak Amat Kejam

Senin, 29 Maret 2021

Indonesia sedang diselimuti duka akibat ledakan bom di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3) yang diduga dilakukan oleh 2 orang teroris. Akibat insiden tersebut setidaknya ada 14 orang luka berat dan ringan.

Jauh sebelum peristiwa bom bunuh diri di Makassar terjadi, tim ahli psikologi gabungan dari beberapa universitas di seluruh dunia, melakukan riset apa motivasi seseorang menjadi teroris. Banyak orang mengeklaim seseorang termotivasi jadi teroris karena alasan agama atau pandangan politik. Tapi para ahli sosiologi berpendapat lain.

Hasil riset mereka yang telah dipublikasikan di jurnal “Frontiers in Psychology” dan telah dirilis pada tahun 2019 lalu, menjelaskan ternyata dugaan bahwa perasaan tidak diterima oleh masyarakat atau dikucilkan mendasari seseorang menjadi teroris.

Dalam riset ini, para ahli melakukan survei terhadap 535 pemuda di Barcelona, Spanyol, yang berasal dari Maroko. Para pemuda itu diminta untuk menjelaskan pandangan mereka atas penggunaan kekerasan untuk menyebarkan Islam. Selain itu, para peneliti juga menggunakan mesin pemindaian fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) untuk memindai otak para pemuda itu.

Para peserta riset diminta untuk bermain game bernama Cyberball. Game tersebut dirancang untuk mempelajari pengasingan sosial, bullying, dan diskriminasi. Hasil penelitian menunjukkan efek mencolok ketika para pemuda Maroko secara sosial dikucilkan oleh orang Spanyol saat memainkan Cyberball.

Jadi dalam game itu, setengah dari peserta dibuat diabaikan oleh pemain lain, pemain virtual yang diberikan nama dan penampakan orang Spanyol. Setelah bermain mereka diminta untuk menjawab pertanyaan sambil otaknya dipindai oleh fMRI.


Peneliti University College London (UCL) yang menjadi bagian dari tim internasional tersebut, menggunakan teknik neuroimaging untuk memetakan bagaimana otak individu yang teradikalisasi merespons emosi yang diperoleh karena terpinggirkan secara sosial.

Temuan tersebut mengkonfirmasi bahwa pengucilan atau terasingkan adalah faktor utama dalam menciptakan jihadis yang kejam. Penelitian ini juga menantang kepercayaan yang berlaku bahwa variabel lain, seperti kemiskinan, konservatisme agama, dan bahkan psikosis, adalah pendorong dominan seseorang menjadi teroris.

“Ini akhirnya menghilangkan ide-ide yang salah arah,” kata penulis utama studi tersebut, Nafees Hamid dari UCL dikutip The Guardian.
“Studi pencitraan saraf pertama pada populasi yang teradikalisasi menunjukkan perilaku ekstrem kelompok tampaknya meningkat setelah pengucilan sosial.”

Pada mereka yang dari awal menyatakan keinginan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, hasil pemindaian menunjukkan adanya aktivitas tinggi di bagian kiri inferior frontal gyrus di otak. Area tersebut berhubungan dengan hal-hal yang orang anggap terlalu penting untuk diubah.

Menariknya, mereka yang saat bermain game diabaikan menunjukkan keinginan yang lebih tinggi untuk berkelahi dan mati dalam mencapai tujuannya. Selain itu, bagian kiri inferior frontal gyrus otak mereka juga menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi.

Tidak hanya itu, ketika mereka ditanya atas topik-topik yang sebelumnya dianggap tidak perlu menggunakan kekerasan, para peserta yang diabaikan saat main game malah menunjukkan aktivitas otak yang sama, saat mereka mendiskusikan masalah yang dianggap fundamental atau tidak bisa diubah.

Jadi, perasaan terasing atau dikucilkan di dunia maya, meski sebentar, cukup untuk meningkatkan aktivitas otak mirip teroris pada topik yang sebelumnya aman. Bayangkan, dampak perasaan tersebut pada sepanjang hidup seseorang.

“Kami tidak mengatakan bahwa pengasingan sosial adalah satu-satunya faktor yang memotivasi tindakan kekerasan, tapi itu adalah salah satu yang terpenting,” papar anggota tim peneliti Nafees Hamid dikutip dari IFL Science.

Hamid menyerukan agar studi tersebut, yang melibatkan organisasi penelitian ilmiah Artis International dan sebagian didanai oleh Departemen Pertahanan AS, digunakan untuk membantu memastikan pengucilan sosial menjadi salah satu faktor utama dalam kebijakan mencegah radikalisasi.

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Stok Vaksin Covid-19 Indonesia Terancam Habis pada April 2021

Selanjutnya

Klasemen Babak Kualifikasi Piala Dunia 2022: Inggris, Italia, & Jerman Sempurna

Selanjutnya

Klasemen Babak Kualifikasi Piala Dunia 2022: Inggris, Italia, & Jerman Sempurna

Moeldoko Ingin Cuci Tangan, Mau Mencuri Tapi Ketangkep Basah

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com