FOKUS – Tokoh nasional sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN) Anas Urbaningrum menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan presidential threshold dalam Pilpres seharusnya diikuti dengan kebijakan serupa pada Pilkada di seluruh daerah.
Untuk diketahui, MK telah memutuskan untuk menghapus ketentuan presidential threshold dalam Pemilihan Presiden (Pilpres), menyatakan Pasal 222 UU Pemilu inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menurut Anas, putusan MK yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen tidak konstitusional, secara otomatis menegaskan bahwa threshold Pilpres kini menjadi 0 persen. Karena itu, ia menilai Pilkada idealnya mengikuti prinsip yang sama.
“MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya threshold Pilpres itu 0 persen. Kalau mau paralel antara politik nasional dan politik lokal, Pilkada juga seharusnya 0 persen,” ujar Anas, beberapa waktu kemarin saat berkunjung ke Banyumas.
Ia menjelaskan, dengan threshold 0 persen, satu partai politik peserta pemilu di sebuah daerah sudah cukup untuk mengusung calon kepala daerah. Menurutnya, mekanisme ini lebih adil karena tidak menutup peluang munculnya calon berkualitas yang selama ini bisa terganjal oleh tingginya ambang batas.
“Kalau threshold 10 persen atau 7,5 persen, bisa saja calon yang bagus justru tidak bisa berangkat karena dikunci. Dengan nol persen, soal menang atau kalah itu urusan rakyat,” katanya.
Anas juga menilai penghapusan threshold dapat mencegah terjadinya fenomena kotak kosong, seperti yang pernah terjadi di Banyumas.
Terkait wacana mengembalikan Pilkada melalui DPRD, Anas menyebut saat ini kondisi sedang berada di “persimpangan jalan”. Sejumlah partai besar disebut cenderung mendorong agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
Namun, menurutnya evaluasi Pilkada langsung harus dilakukan secara objektif. Ia menegaskan bahwa persoalan biaya politik tinggi tidak semata-mata terkait mekanisme Pilkada langsung, melainkan menyangkut perilaku elite politik dan praktik politik uang.
“Kalau soal adu amplop, mau langsung atau tidak langsung tetap bisa terjadi. Yang beda hanya lokasi amplopnya. Jadi bukan mekanismenya yang salah,” tegas Anas.
Ia menambahkan, jika ingin menekan biaya politik, negara harus mengambil langkah tegas. Misalnya dengan melarang mahar politik dalam proses pencalonan dan memperkuat penindakan terhadap praktik politik uang. (Angga Saputra)


