Lepas magrib kami, aku dan isteri, baru beringsut dari Pantai Segara, . Ritual rutin seminggu dua-tiga kali, jalan kaki menyusuri joging track sepanjang Pantai Semawang, Pantai Duyung, Pantai Karang, Pantai Sindu, Pantai Segara, hingga Pantai Matahari Terbit. Bedanya sore itu aku lebih lama berendam di Pantai Segara, yang airnya sedang surut. Masih sempat pula berbilas dengan air tawar hasil treatment.
Setiba di rumah, hanya ingin duduk di teras, menyalakan sebatang rokok, dan menyeruput kopi dingin sisa sedari pagi. Dari dalam rumah terdengar omelan isteri. Air dari kran kamar mandi merah seperti wedang uwuh. Kulihat pula ada ampas dan jentik nyamuk.
Kali ini aku memilih kembali duduk di teras. Beberapa tetangga menghampiri, mereka memilih menganalisa, harusnya begini mestinya begitu. Aku hanya menjawab dengan ketawa kambing birahi.
Kalian semua pintar. Pintar memilih dan menganalisa. Sedang aku hanya menerima, karena merasa tak ada pilihan lain yang lebih bagus. Berpuluh tahun mandi, cebok, bikin kopi, menyiram tanaman, membilas kemaluan. PDAM tidak peduli. Tugasnya adalah mengalirkan air sebersih mungkin. Ada kendala atas resiko perawatan, itu pasti untuk hal yang mungkin lebih baik.
Semua merasa benar dengan analisa yang seolah intelek, seperti suara cenggeret sore selepas hujan. Riuh. Semua meminta pertanggungjawaban, termasuk pelacur yang sudah dibayar tunai saat melakukan jasanya. Lalu muncul aneka diksi, kontrasepsi, konspirasi, dinasti, konjungsi, dan aneka macam yang bau terasi.
Dengan penuh semangat mereka memilih dan menentukan. Bahkan dengan upeti untuk mempercepat proses membela keyakinan. Menyanjung, merayu, menjilat pantat, menelan ludah. Dan seketika mereka terluka, kecewa, sedih, marah, dendam. Merek pipa, spesifikasi, teknis pemasangan, korupsi, Mark up anggaran, hingga penyalahgunaan wewenang.
Kalian semua cerdas, pintar, bermulut licin (mungkin efek sering minum oli bekas). Bicara seolah paham betul tentang kedalaman laut, padahal yang dilihat hanya buih ombak. Rela bertengkar memperebutkan pepesan kosong. Putus saudara membela yang entah.
Sungguh aku tak pernah memilih, karena bagiku yang penting kebutuhan air terpenuhi. Dan untuk itu pasti ada biaya.
Denpasar, 2 November 2024
Rangga Sujali
(Penulis adalah pemerhati sastra dan budaya kelahiran Banyumas)