Prof Yudhie Haryono PhD
CEO Nusantara Centre
Tanpa ingatan, tak ada masa lalu. Tanpa gagasan, tak ada masa kini. Tanpa harapan, tak ada masa depan. Manusia Indonesia dan negara-negara postkolonial kini menghadapi punahnya ingatan dan hancurnya harapan. Padahal, tanpa hadirnya ingatan dan harapan, negara bagaikan tubuh tanpa nalar. Goyah dan tak tentu arah.
Di sini, subtansi kemerdekaan akan menemukan relevansinya jika kita menghadirkan “politik ingatan” dan “politik harapan.” Sebab tanpa keduanya, kemerdekaan menjadi irrelevan: pekik paria dan nestapa; takbir tanpa kebesaran; yesus tanpa roma.
Politik ingatan yang hadir akan memberikan waktu kebersamaan dan kesatuan tujuan serta kebermaknaan. Karena itu, kita jadi ingat bahwa Indonesia adalah negara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Benua Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Negeri Bahari terkaya SDAnya.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau. Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara. Bagi Indonesia, tujuan negara terdapat dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: 1)Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2)Memajukan kesejahteraan umum; 3)Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4)Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan kesadaran itu, model pembangunannya dari pinggiran, menyeluruh, merata, lautan-daratan-udara, keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, bhineka, multikultural, serbuksari, serta hibrida. Inilah nalar sadar waktu karena kita mewarisi Singasari, Sriwijaya, Padjajaran dan Majapahit sebagai bangsa bahari.
Tetapi, itu semua tak akan digdaya di zaman global kecuali tumbuhnya prakarsa modernitas. Sebuah prakarsa hidup yang bersendikan iptek dan imtak hingga menjadi wordview. Satu peradaban rasionalistis yang humanis dan humanis yang rasionalistis.
Singkatnya, politik ingatan itu membawa konsekwensi bagi terbentuknya negara kelautan modern, poros maritim dunia, jalur rempah-herbal-emas-nuklir nusantara, sehingga dunia bagian dari Indonesia: bukan sebaliknya.
Sementara politik harapan mendesain kita pada upaya raksasa menghadirkan ideologi dunia yang akumulatif. Pancasila; keadaban publik; civilitas agnostik, subtantif-progresif; nasionalisme berkeadaban. Satu ide yang mengerjakan lima dentuman peradaban agung: 1)Mengelola hasrat untuk mencapai konsensus; 2)Mencapai kedaulatan bersama; 3)Memelihara dan mengembangkan keaslian budaya; 4)Mentradisikan kemandirian dan kerjasama; 5)Mencapai kehormatan dan kemartabatan bersama.
Kita tahu bahwa Indonesia ada karena revolusi; hadir karena melawan; terlahir karena perjuangan. Karena itu semangat para pejuang melawan kolonialisme adalah dasar terlahirnya nasionalisme di negeri ini. Tanpa itu, Indonesia absen.
Sejarah telah mencatat betapa gencarnya perlawanan para pribumi melawan ketidakadilan dan kedzaliman penjajah di kala itu. Sejak abad ke-15M, rakyat bersama para elit pemimpin dan priyayi menentang para penjajah dengan melakukan perlawanan secara terus menerus hingga kini. Tanpa itu, kalian tak ada.
Itu artinya, aneh jika membangun pulau buatan di negeri kepulauan. Pasti ini program kaum buta sejarah. Aneh jika membangun tanah air via pertumbuhan dan utang. Pasti ini program alpa dan rabun konstitusi. Aneh jika membangun warganegara dengan menggusur mereka. Pasti ini program kompeni, para bajingan dan begundal peradaban. Aneh jika menghormati para koruptor dan pengemplang pajak. Pasti ini program pelacur dan pengibul kemanusiaan.
Jika tak paham juga, mari menyanyi lagu maritim karya Ibu Sud. Sebagai cara mengingat dan mengharap:
Nenek moyangku orang pelaut/Gemar mengarung luas samudra/Menerjang ombak tiada takut/Menempuh badai sudah biasa/Angin bertiup layar terkembang/Ombak berdebur di tepi pantai/Pemuda berani bangkit sekarang/Ke laut kita beramai-ramai/
Baca yang keras bait keempat! Itulah negara kelautan yang modern karena berprinsip berkeadaban semesta. Negara Pancasila. Kaliankah para penghuninya? Sepertinya bukan.(*)