Denting gamelan dan gemulai tarian tradisional menggema tanpa jeda selama 24 jam dalam perhelatan Banyumas Ngibing 24 Jam, Jumat (2/5/2025). Ribuan warga dan pengunjung dari berbagai kota memadati kawasan Kota Lama Banyumas sejak pagi, menyaksikan puluhan kelompok seni, sekolah, dan komunitas budaya tampil silih berganti. Lebih dari sekadar hiburan, acara ini menjadi simbol semangat kolektif masyarakat dalam menjaga warisan budaya lokal di tengah derasnya arus modernisasi.
Kostum warna-warni yang dikenakan para penari tampak berkilau diterpa sinar matahari, menghidupkan suasana yang diiringi musik khas Banyumasan. Penampilan dari Sanggar Sekar Melati menjadi salah satu sorotan, menandai keterlibatan lintas generasi dalam acara ini.
Pagelaran berlangsung di sejumlah titik strategis seperti SMKN 3 Banyumas, Alun-alun Kecamatan Banyumas, Bale Adipati Mrapat, Taman Sari, Panggung Kumala di Jalan Kaliori-Banyumas, Simpang Empat Jalan Mruyung, hingga Klenteng Boen Tek Bio. Selain tari, turut disuguhkan berbagai kesenian seperti ebeg, wayang, karawitan, barongsai, pertunjukan musik, hingga fashion show.

Maestro Lengger Banyumas, Rianto, selaku penggagas acara, menjelaskan bahwa Banyumas Ngibing 24 Jam adalah upaya untuk merayakan dan menghidupkan kembali tradisi ngibing atau menari.
“Mengusung tema Merawat Tradisi, Menyemai Kreasi, kegiatan ini juga menjadi bagian dari peringatan Hari Tari Sedunia yang jatuh setiap 29 April. Seni tradisional harus menjadi ruang kreasi, bukan hanya dilestarikan,” ujar pendiri Rumah Lengger Banyumas ini.
Bupati Banyumas, Sadewo Tri Lastiono, turut memberikan apresiasinya. Ia menilai acara ini bukan hanya memperkaya budaya, tetapi juga berkontribusi nyata pada perekonomian masyarakat.
“Pemerintah daerah, DPR RI dapil Banyumas, serta DPRD setempat sangat mendukung karena kegiatan ini membawa dampak positif secara budaya dan ekonomi, terutama bagi pelaku UMKM,” katanya. Ia berharap kegiatan semacam ini dapat dijadikan agenda rutin tahunan.
Ketua DPRD Kabupaten Banyumas, Subagyo, yang turut hadir, juga memberikan dukungannya. “Acara ini menyajikan seni dari perspektif baru, mudah diterima semua kalangan, dan memiliki potensi besar dalam mendorong ekonomi kreatif dan pariwisata daerah,” ujarnya.
Antusiasme juga terlihat dari masyarakat. Asiyati, warga Wangon, mengaku hadir karena anaknya tampil mewakili Sanggar Kelapa Gading.
“Ini acara yang menarik dan edukatif. Bentuk konkret pelestarian budaya bagi generasi muda,” tuturnya.

Senada, Egna Nur Triviana, orang tua dari peserta Sanggar Domas, merasa bangga.
“Anak saya sudah menyukai tari sejak kecil. Acara ini membuka ruang ekspresi sekaligus memperluas wawasan,” katanya. Ia berharap kegiatan serupa bisa digelar merata di seluruh kecamatan agar lebih banyak anak terlibat, dan budaya tidak terpinggirkan oleh gadget.
Tak hanya warga lokal, pengunjung dari luar daerah pun turut hadir. Nurhaidah Simatupang, warga asal Sumatera yang kini tinggal di Jakarta, mengaku terkesan.
“Saya teringat saat mendampingi anak-anak lomba tari. Acara seperti ini penting untuk pembinaan sekaligus pelestarian budaya,” ungkapnya.
Selain menyajikan pertunjukan budaya, Banyumas Ngibing 24 Jam juga memberi dampak ekonomi bagi pedagang lokal di sekitar titik acara. Meski demikian, tanggapan dari pelaku usaha kecil cukup beragam.
Cici, pedagang minuman di Perempatan Mruyung, menyebut bahwa pengunjung belum terlalu ramai di siang hari.
“Siang masih sepi, belum terasa perbedaannya. Biasanya malam minggu baru rame, banyak anak muda yang nongkrong,” ujarnya sembari melayani pembeli. Ia berharap sebaran titik acara bisa lebih merata, tidak hanya terpusat di Alun-alun.
“Sekarang fokusnya masih di Alun-alun. Kalau bisa titik lainnya juga dimaksimalkan biar semua pedagang kebagian ramai.”
Sementara itu, Dedot, pemilik warung kopi di area yang sama, merasakan peningkatan omzet.
“Ada peningkatan, apalagi kalau ada acara dari kecamatan. Biasanya kalau nggak ada event ya sepi-sepi aja,” katanya.
Ia berharap acara semacam ini lebih sering digelar. “Kalau bisa dibanyakin event semacam ini, jangan setahun sekali. Biar ekonomi jalan terus,” pungkasnya.
Berbagai tanggapan dari pelaku UMKM ini menunjukkan bahwa gelaran budaya seperti Banyumas Ngibing 24 Jam tak hanya menjadi ruang ekspresi seni, tetapi juga berpotensi menggerakkan ekonomi lokal. Meski responnya beragam, secara keseluruhan masyarakat menyambutnya dengan positif.
Di tengah gempuran era digital, Banyumas Ngibing 24 Jam membuktikan bahwa warisan budaya masih relevan bukan sekadar dikenang, tetapi terus hidup melalui gerak, irama, dan kolaborasi lintas generasi.
Penulis : Agnes Putrisia & Norika Rahayu
Editor : Angga Saputra


