Belakangan ini terjadi sebuah fenomena yang cukup menghenyakkan perhatian dan pemikiran. Masyarakat perkotaan yang lazimnya berada dibawah paradigma modernisme dan materialisme, tiba-tiba berduyun-duyun memburu spiritualitas, sesuatu yang pada masa lampau sulit dibayangkan terjadi. Mistik yang galib dikenal merupakan perilaku kaum pinggiran atau masyarakat pedesaan, kini terjadi pendulum balik, dari city ke rural. Fenomena ini menarik bukan hanya terletak pada ekspresi yang ditampilkan oleh masyarakat urban, namun lebih kepada watak dan karakter yang ditampilkan.
Sejak zaman renaissance di Barat, kota merupakan pioner modernitas yang mengagung-agungkan akal. Ia sering dihadapkan secara vis-ΰ-vis dengan mistisisme, dengan segala hal yang bersifat supranatural. Namun kini, kota Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan kota-kota besar di dunia adalah beberapa contoh kota metropolitan, pusat peradaban modern, yang semarak dengan aktivitas berkaitan dengan persoalan tasawuf, batini (qalb), intuisi, indra keenam. Fenomena ini ditandai dengan laris manisnya buku-buku tentang tasawuf, beberapa lembaga spiritualitas tumbuh bagai jamur di musim hujan, acara-acara keagamaan dengan tema spiritualitas di radio dan televisi, berbagai penerbit buku dan media yang memfokuskan penerbitan mereka pada persoalan inner-self atau mulai melirik masalah rohani, dan menjadi trigger bangkitnya film-film dan situs keagamaan.
Berbeda dengan ekspresi spiritual yang ditampilkan oleh sufi-sufi atau darwisy-darwisy konvensional/orthodox yang lazim dikenal atau lebih berupa stereotype dan dijumpai di masyarakat, mistikus baru itu bukanlah para kaum kumuh, yang kesehariannya hanya diisi dengan ritual dan pengasingan diri. Namun sebaliknya, para sufi kota ini berasal dari strata sosial kelas menengah dan atas, sehari-hari berpenampilan mewah, memakai mobil BMW atau Mercedes Benz, tinggal di rumah mentereng yang berada di kawasan-kawasan elite, para profesional di berbagai bidang, dan mereka yang berpikir penuh perhitungan akal.
Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang keladi kemunduran umat Islam, bertentangan dengan etos modernisme, dan dianggap termasuk oleh para sarjana muslim sekaliber Fazlur Rahman sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam, kini justru menjadi semacam trend kalangan orang berada di perkotaan.
Fenomena sufisme masyarakat perkotaan ini bahkan merambah ke universitas-universitas sebagai sebuah diskursus. Ia tidak hanya berhenti pada sebatas tren, tapi menjadi perilaku dan sikap yang dikaji secara mendalam pada tataran ilmiah.
Mengapa sufisme bisa dengan tiba-tiba bangkit di perkotaan dan kemudian baru merembet ke pedesaan (spreading from city to rural place) atau bertolak belakang dengan sejarahnya dulu, dari rural ke city? Pertanyaan ‘mengapa’ berkaitan dengan persoalan latar belakang terjadinya perkembangan spiritualitas komunitas urban ini. Ia berhubungan dengan sosiologi dan psikologi masyarakat, dan berujung pada pertanyaan tentang target yang dikehendaki oleh orang-orang yang menggeluti dunia mistik itu.
Jawaban terhadap pertanyaan ‘mengapa’ kerapkali dikemukakan para ahli dengan nada yang sering mirip koor atau paduan suara. Ada semacam kehausan spiritual pada masyarakat. Ini terjadi karena modernisme menjajah masyarakat dengan paradigma berpikir yang materialistis. Segala hal diukur dengan kategori uang atau keuntungan materi.
Cara pandang yang terfokus pada falsafah materi oriented, alih-alih membuat manusia hidup bahagia dan damai, justru sebaliknya ia membuat anak Adam kehilangan orentasi dan makna hidup. Ia membuat insan kehilangan kesyahduan hidup, alienasi, dislokasi, dan menciptakan kegersangan rohaniah. Akibatnya, ada harga yang yang lebih mahal dari sekedar keuntungan-keuntungan materi yang selama ini mereka dapatkan, yaitu apa yang disebut Ivan Illich sebagai ‘materialisasi kesadaran’, atau ‘tirani kognitif’ (Majid Tehranian), atau ‘perancuan kognitif’ (Peter L. Berger), atau ‘kepanikan epistemologis’ (Nurcholish Madjid).
Kota merupakan pusat peradaban umat manusia, gudang rasionalitas, kawasan industri dan teknologi. Karena berbagai peran itulah maka kota diidentifikasi sebagai pusat modernitas. Bila argumentasi yang menuduh modernisme sebagai biang keladi dari krisis dan kehausan spiritual itu benar adanya, maka otomatis tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat perkotaanlah yang berada di barisan terdepan dari ekses modernisme. Karena itulah, warga kota lantas berbondong-bondong menyerbu berbagai aktivitas yang memberi janji-janji spiritual, ‘jampi-jampi’ surgawi untuk kedamaian hidup.
(Winta Diaz, Purwokerto)