Dari malam pengambilan nomor undi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), ada pertunjukan unik yang tersisa. Dua seteru politik yang melahirkan dua kutub bertolakbelakang. Seperti magnet, keduanya punya daya tarik, entah mana yang positif-negatif. Dan pertunjukan itu dipertontonkan kepada masyarakat, yang berhak punya asumsi, lengkap dengan kedangkalan serta subyektivitas berfikir.
Dua orang “anak” itu sebenarnya sudah bersalaman dengan Budhenya. Pun budhe sudah menyalami mereka dan bercakap-cakap sedikit. Tapi rupanya itu semua belum cukup. Maka diciptakanlah momen dramatis dengan mengajak salim sambil bersimpuh.
Dari kacamata politik, apa yang dilakukan duo anak itu cukup hebat. Apa yang mereka lakukan menggambarkan bahwa mereka, sebagai yang muda, berusaha santun dan beradab. Tapi rupanya mereka sangat memahami perilaku Budhenya. Sang sutradara berharap budhe akan menampilkan gestur yang buruk dan tidak nyaman. Tak demikian, budhe tampak cuek dan pasang muka datar, ketika mereka datang lagi, dan Si Kecil pengin salim sambil ndeprok, bersimpuh di hadapan budhe, yang tampak agak bingung.
Potongan scene, momentum pengin salim sambil ndeprok itu lalu di-share dengan masif, dan itulah yang disaksikan publik. Warga lugu pun terpesona dan kasihan banget sama anak itu. Sementara budhe mendapat celaan segala macam. Dan ternyata yang di-share secara masif kemudian adalah salaman yang kedua. Salaman yang pertama tidak dimunculkan. Jika dilihat pada video yang lengkap, jelas sekali bahwa mereka sudah bersalaman, dan budhe pun menanggapi dengan baik.
Khalayak dibujuk. Bagaimana pun caranya, apa pun hasilnya. Tipuan mesra, janji surga, khayalan jaya, mimpi bebas korupsi, harapan berbangsa-bernegara ideal dan seterusnya. Dan para calon pemimpin berhak memberikan mimpi indah tentang hal itu. Kendati setelah jadi kelak, “malaikat pun ketika masuk ke dalam sistem ini bisa menjadi iblis..” Keji dan mengecewakan. Dan itulah realita hasil berpolitik.
Maka jangan pernah terjebak dengan drakor semacam ini di panggung politik. Plot twist-nya bisa sangat mengejutkan. Hati-hati pula menghadapi fenomena ini. Kita tengah berada di era propaganda post truth.
Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budayawan dan Jurnalis Senior.