Permintaan maaf dari Federasi Badminton Dunia (BWF) atas insiden ‘pengusiran paksa’ tim Indonesia dari ajang All Englad 2021 bukan akhir dari kekisruhan yang telah memicu kekecewaan besar di tanah air.
Masalah ini disarankan untuk diteruskan ke pengadilan arbitrase olahraga atau Court of Arbitration for Sport (CAS).
Selain karena permintaan maaf tersebut terkesan tidak didasarkan pada inisiatif dari BWF sendiri alias cuma basa-basi, hal ini juga perlu dilakukan agar insiden serupa tidak terjadi di masa mendatang.
Pakar HI Universitas Airlangga Joko Susanto mengatakan, permintaan maaf itu sangat terlambat sebab disampaikan setelah ajang All England selesai.
Atas dasar inilah ia menyebut permintaan maaf melalui surat yang diteken Presiden BWF, Poul Erik Hoyer Larsen, pada Minggu (21/3) tersebut dinilai bukan atas inisiatif BWF. Melainkan karena ultimatum dari Pemerintah Indonesia.
“Ada dua hal. Mestinya proses itu terjadi di hari pertama dan Indonesia tidak ikut serta itu harusnya sudah minta maaf. Dan mereka minta maaf itu tidak bisa dikatakan muncul atas inisiasi BWF. Karena sebelumnya sudah muncul ultimatum dari Indonesia kalau tidak minta maaf akan membuat ini lebih serius,” katanya kepada wartawan, Selasa (23/3).
Selain itu, lanjut Joko, permintaan maaf itu hanya menyayangkan ketidakikutsertaan wakil Indonesia di ajang bertitel super 1000 tersebut. Sedangkan, persoalan mengenai perlakuan tidak adil dan diskriminatif seolah dikesampingkan.
“Yang paling relevan kalau itu harus dibawa ke pengadilan arbitrase olahraga atau CAS saja, enggak apa-apa. Kalaupun dibawa ke sana Indonesia harus hadir sebagai tim yang solid, data yang kuat dan dari situ tujuannya yaitu, satu mengklarifikasi persoalan yang sesungguhnya dan mendapatkan keadilan. Kemudian menjadi pelajaran yang besar kemudian untuk penyelenggaranya,” pungkas Joko Santoso.