FOKUS – Kejahatan pangan atau food crime merupakan bentuk penipuan yang berdampak langsung terhadap keamanan dan keaslian makanan maupun minuman (food fraud). Salah satu praktiknya adalah substitution, yakni mengganti bahan pangan dengan komposisi berkualitas lebih rendah.
Kasus ini terjadi pada produk gula merah. Alih-alih menggunakan nira murni, sejumlah oknum justru memproduksi gula merah dengan campuran molasses, glucose syrup, dextrose monohydrate, gula kristal putih (rafinasi), gula reject pabrik, hingga bahan pemanis kedaluwarsa.
Pengamat gula merah, Wahyu Riyono, SE, MM, menjelaskan bahwa gula merah palsu secara fisik sangat mirip dengan yang asli, baik warna, tekstur, maupun rasa manisnya. Namun, aroma dan cita rasanya berbeda, dan kandungan gulanya pun tidak sama.
“Motif utamanya tentu ekonomi. Harga bahan campuran jauh lebih murah daripada nira kelapa, sehingga selisih keuntungan menjadi sangat besar,” ujarnya.
Maraknya Pemalsuan di Banyumas
Kabupaten Banyumas dikenal sebagai sentra produksi gula kelapa, yakni gula merah yang dihasilkan dari nira kelapa. Namun saat ini, produk murni makin sulit ditemukan. Pemalsuan gula merah telah menjadi fenomena terbuka dan disinyalir lebih dari 70% gula merah yang beredar di pasar berasal dari proses pemalsuan.
Pemerintah pusat maupun daerah dinilai tak berdaya dalam menanggulangi praktik ini. Dalam tujuh tahun terakhir, upaya Pemkab Banyumas untuk mengembangkan industri gula kelapa justru kian meredup.
Tak hanya itu, aparat penegak hukum pun dianggap abai. “Tidak mungkin aparat tidak tahu, tapi nyatanya praktik kejahatan pangan ini terus dibiarkan,” tegas Wahyu.
Lama-kelamaan, masyarakat pun menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan banyak petani ikut terlibat memproduksi gula palsu karena dianggap lebih mudah. “Indel ora nderes,” ujar Wahyu, merujuk pada istilah lokal yang berarti membuat gula tanpa menyadap nira.
Bahaya bagi Konsumen

Pemalsuan gula merah bukan sekadar penipuan ekonomi, tetapi juga membahayakan kesehatan konsumen. Gula kelapa asli memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dan relatif aman bagi penderita diabetes. Sebaliknya, gula palsu umumnya mengandung gula kristal putih yang justru berisiko tinggi.
Selain itu, bahan seperti molasses yang umum dipakai untuk keperluan non-pangan (pakan ternak, pupuk, hingga bioethanol) tidak memiliki standar keamanan konsumsi manusia. Belum lagi penggunaan cetakan plastik dalam kondisi panas yang berpotensi melepaskan mikroplastik ke dalam gula.
“Ini jelas melanggar prinsip dasar keamanan pangan,” tambah Wahyu.
Tak hanya konsumen yang dirugikan. Industri pengolahan seperti produsen kecap juga terkena dampaknya. Masuknya gula palsu menyebabkan perubahan cita rasa hingga menurunnya kualitas produk jadi.
Fenomena ini membutuhkan penanganan serius dari semua pihak. Kejahatan pangan tidak hanya merugikan ekonomi, tapi juga mengancam kesehatan publik dalam jangka panjang. (Angga Saputra)