Rangga Sujali
Redaktur Tamu indiebanyumas
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat para pecundangnya.
Pecundang demi pecundang lahir di tiap perjuangan. Kepecundangan yang dikemas dalam fiksi seolah ilmiah, dengan aneka studies by order, menjadikan dia pahlawan. Oleh kroninya kemudian dibuatkan patung di setiap pojok kota, bahkan dipuaskan untuk nama gedung, museum, dan jalan.
Era demi era kian limbung, entah mana cerita yang benar. Tak kunjung menemukan benang merah, karena yang fiksi terasumsi nyata. Yang nyata terkaburkan oleh fiksi.
Jangan tanya kepada gen-z, generasi micin pun tak paham betul mana yang benar tentang sejarah negaranya. Karena sejarah ditulis dengan dendam. Seolah eranya yang paling benar. Begitu berganti masa, semudah membalik telapak tangan, cerita pun berubah. Maka lahirlah the lost generation, generasi yang hilang. Tersesat karena tak paham sangkan paraning dumadi.
Ketika dijajah Jepang, Belanda dicitrakan amat jahat. Ketika merdeka Belanda brengsek. Orde Baru bercerita tentang keburukan Orde Lama. Reformasi memporak-porandakan semua. Mencoba menyusun kembali sejarah, versi yang baru. Berebut kuasa untuk merekayasa.
Si Pandir mendongeng sambil memangku Periuk nasi dan memegang parang, tajam berkilau, siap memenggal leher yang tak mengiyakan. Semua budak mendengarkan, mengangguk, dan tertawa sembari kentut. Setuju tanpa syarat, dari pada lapar dan tersingkir dari kalangan.
Politik tidak kunjung memunculkan negarawan. Hanya penguasa culas yang dihantui paranoia.


