Siapa si yang tidak mengenal biji hitam berkafein? Ya… Si hitam yang banyak penikmatnya, dalam bahasa jawa menikmati seduhan biji hitam ini lebih akrab dengan istilah “ngopi”.
Mengakarnya ngopi di masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sisi historikalnya, tanaman kopi juga merupakan benih yang dibawa Belanda pada 1696 M dalam rangka mengeksploitasi Sumberdaya Indonesia, melihat hasil yang begitu menguntungkan dari segi bisnis maka lahirlah kebijakan tanam paksa, petani dipaksa menanam dan hasilnya tentu harus dijual kepada V. O. C dengan harga tidak logis, dan hebatnya program ini terlaksana secara terstruktur oleh pemerintahan kolonial sampai ketingkat kelurahan tentu dengan iming-iming bagi hasil, yang ujung-ujungnya petanilah ujung dari semua penderitaan.
Banyumas sebagai wilayah yang tidak jauh dari gunung aktif (Gn. Slamet) pun tidak luput perhatian dari program tanam paksa tersebut. Hal ini tentu karena mereka sudah meriset tentang pengaruh kondisi tanah atas buah kopi yang dihasilkan, atau juga tentang pengaruh curah hujan dimana banyumas adalah kota dengan curah hujan tertinggi di Indonesia.
Demikian sekilas tentang masuknya kopi di Indonesia, tentu masih sangat panjang sejarah penderitaan kelam tersebut.
Terlepas dari semua itu, kabupaten banyumas memiliki potensi untuk mengembalikan kejayaan kopi di masa lalu, bedanya dulu rakyat tidak pernah merasakan kejayaan sementara diluar negri sana diagung-agungkan “A Cup Of Java”.
Tentu penulis tidak muluk-muluk mengatakan hal tersebut, karena memang kopi diwilayah Banyumas memiliki cita rasa lain dari pada yang lain, dan susah untuk dijelaskan melalui kosakata.
Paman Doel begitu sapaan akrab beliau, penikmat kopi dan pengelola kedai kopi bercerita tentang kopi Banyumas “Kopi Java Robusta yang digarap dengan keuletan petaninya ini memiliki cita rasa unik dan ngangeni bagi para penikmatnya”
“Pahit, Getir kopi ini seakan menerawang jauh, suasana betapa pahit dan getirnya rakyat dalam tanam paksa dahulu yang mengendap didasar cangkir” Lanjut beliau sambil menyeruput kopi yang tinggal ampasnya saja.
Penulis: Khafidz Sya’bani