Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Jika dalam perang kalian tak punya kontra skema, kalian hanya Kancil buat Singa. Jadi mangsa mudah untuk kalah selamanya. So, jangan takut pada revolusi. Kita mungkin kehilangan sesuatu yang baik, namun kita akan peroleh sesuatu yang lebih baik lagi.
Kini. Keluarlah dari perangkap. Mematahkan jebakan. Memenangkan peperangan dan pertempuran. Itulah epistema dari ilmu oksidentalisme. Dus, ia antitesa dari orientalisme. Skema kontra. Skema lawan tanding. Datang bertanding dan bekerja menikam mati kolonialisme. Sebab, hidup rakus, kolonialisme, imperialisme, neoliberalisme dan orientalisme itu satu paket.
Oksidentalisme berarti studi tentang penjajahan (lama dan baru) dari berbagai aspeknya. Oksidentalisme berasal dari kata occident (tempat matahari terbenam) yang berarti negeri Barat, asal muasal penjajahan, ibu kandung keserakahan.
Dalam bahasa Arab, oksidentalisme adalah “al-istighrâb” sebagai lawan dari orientalisme “al-istisyrâq.” Kajian oreintalisme adalah melihat Timur terjajah dari kacamata Barat. Sedangkan oksidentalisme sebaliknya: melihat Barat penjajah dari kacamata Timur.
Kenapa melawan orientalisme? Karena ia bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis sekaligus relijius.
Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan penjajah tentang dunia terjajah bertujuan untuk kepentingan menguasai wilayah jajahan. Secara ekonomis adalah demi kemakmuran penjajah. Secara relijius adalah demi kekristenan semesta. Kita mengenalnya dengan 3G: gold (kekayaan), glory (kejayaan) and gospel (keagamaan).
Ilmu ini menjadi sangat penting direalitaskan buat masa kini dan mendatang, karena penjajah rakus untuk kesekian kalinya mulai menancapkan lagi kuku kolonialisnya, setelah kolonialisme purba mengimplikasikan munculnya gerakan pembebasan dan pemerdekaan suatu bangsa.
Kemerdekaan saja tak cukup. Ia hanya pintu gerbang: jembatan emas. Modal membentuk negara yang mandiri, modern dan martabatif. Modal menggapai keadilan abadi dan kesejahteraan sosial. Agar modal ini tegak, oksidentalisme berdiri menemani dan mengisi kemerdekaan penuh.
Dus, oksidentalisme adalah upaya untuk mengikis habis serangan westernisasi yang sudah semakin meluas wilayah jangkauannya. Begitu luas dan tidak terbatas dalam kehidupan kenegaraan, seni, budaya dan agama, melainkan juga meluas ke dalam tata-cara kehidupan sehari-hari.
Kita harus sadar bahwa program utama westernisasi adalah mengkurikulumkan gerak langkah alienasi dan dominasi. Alienasi dari kedaulatan diri dan dominasi orang lain terhadap dirinya. Dus, westernisasi dan orientalisme itu memastikan keikhlasan manusia menjadi budak, budaknya bangsa-bangsa.
Oksidentalisme hadir tidak hanya sekedar respon atas maraknya tradisi orientalisme, tapi juga menjadi alternatif pembacaan kritis terhadap penjajah beserta kebudayaannya.
Oksidentalisme merupakan peta jalan atas munculnya penolakan yang begitu besar terhadap penjajahan baru. Metoda ini dikerjakan dengan sikap rasional, kritis, melawan dan alternatif.
Perlawanan ini tentu bisa dikerjakan untuk menghasilkan dialog yang inklusif, moderat, rasional, dan mencari titik-titik kesamaan (konvergensi) demi mewujudkan cita-cita kemanusiaan dunia. Oksidentalisme, bersama ilmu postkolonial, triasekonomika dan psikohermeneutika adalah kwartet perealisasi janji proklamasi.(*)