Prof. Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Tuhan sudah meninggalkanmu. Semesta terus mengujimu. Dan, kamu kalah. Lalu, kamu bertanya, “Tuhan dan semesta, kenapa kalian meninggalkanku?”
Lalu aku jawab guyon. “Kawan, sungguh kekalahan ini sangat berat. Kamu tak akan kuat. Biar yesus saja yang tanggung. Sebab kelasmu memang orang awam yang (di)kalah(kan) untuk dijadikan “ibrah bagi generasi setelahmu.”
Memang. Lebih menyakitkan diabaikan daripada dibunuh sesegera mungkin. Diabaikan itu membuatmu merasa seperti tidak berarti. Dan, engkau memang tidak berarti bagi Tuhan dan semesta. Engkau hanya berarti buatmu dan buat zamanmu: zaman edan dan kalabendu ini.
Sesungguhnya, apa yang sedang terjadi? Jika melihat betapa mudahnya Dik Kowi menang 6X pemilu, dan akan menang 7X via anaknya kini, maka zaman ini pas disebut bangkitnya zaman kegelapan: zaman edan: abad kegilaan. Ciri utamanya: anti intelektualisme (jahiliyah) dan anti moralisme (amoralisme). Ini semua dikarenakan adanya kekuasaan “agama uang” yang bersifat absolut dari politik mutakhir. Kondisi ini menyebabkan sejumlah kegilaan, kehinaan, ketakwarasan dan peristiwa sejarah yang menjijikkan, seperti; kehancuran ilmu pengetahuan, maraknya KKN, tumpulnya hukum, banjirnya uang kotor, tenggelamnya aparat baik, tradisi tipsani, kultur zinah dan kebanggaan menjadi penjahat.
Dik Kowi sukses membangun pondasi bagi lahirnya zaman edan ini. Dan, akan makin kuat di masa mendatang. Sebab, ini baru waktu isya. Menuju tengah malam. Subuh, apalagi fajar pagi masih lama. Malam pekat, malam gelap, malam kelam masih lama. Maka, sehebat apapun kita nyalakan obor, ini justru masih baru awal malam.
Sudah begitu, kita hidup di tanah yang melahirkan “peradaban rasa, defisit nalar.” Lebih senang terjerumus berulang. Menjejer luka. Menjumlah nestapa. Poco-poco. Anti kewarasan umum. Anti kedaulatan subtantif.
Lebih dalam dari tesis tersebut, ternyata ini soal “aku ciptakan kalian berpasangan dan pergilirkan.” Ini pasangan siang. Ini giliran malam. Ini hukum yin-yang. Secara sederhana digunakan untuk mendeskripsikan kondisi (zaman) yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling “ada” satu sama lain.
Ya. Kata tuan sastrawan besar Rokhim Alindonisi (2023), “Hidup terkadang tak ubahnya seperti anjing dan babi. Antara siap diburu dan memburu. Oleh kebelingeran dan aneka tipu daya yang warna warni. Menaklukan dan menguasai. Mengajarkan dan mengendalikan. Bahkan mencetak untuk menjadi penyuplai tenaga perbudakan.
Defisit keterpanggilan adalah efek defisit kemurnian. Sebab dalam kepala sudah tersumbat dogma dan endapan kepentingan aliran. Menjadi mampetnya aliran kehikmatan. Menjadi sempit dan primodial melihat kebenaran. Tertipu hasutan dan bujuk rayu agensi sebagaimana syihir dan sulap yang menipu.
Kini dan seterusnya, berbondong-bondong orang menyembah kertas baik yang ada tulisan dan angkanya, maupun turunannya. Sebab, perjalanan aneka macam kendaraan diatur sedemikian rupa, harus lewat rute kepentingan yang mengaturnya. Lupa terhadap tanpa nama dan rupa. Padahal kesejatian ada di sana. Tak bersandar dan tergantung apapun. Termasuk nada, gerak dan warna. Serta, tak bisa disandingkan apapun juga.
Kini, mari membaca tulisan, membaca jejak masa lalu dan kekinian. Meskipun sekarang semakin kabur dengan berbagai kepentingan. Saatnya membongkar, demi perbaikan peradaban.
Sebab konsekwensi hasil penekno blimbing kui tidak sekedar diam, tidak cukup berhenti pada hakikak wudu bersuci. Namun tandang gawe dan melayani desain agung semesta. Hingga terwujud dan terbukti (Rokhim Alindonisi: 2023/12).
Lalu, bagaimana agar kisah ini berganti? Tunggu ada mukjizat agung yang mendarat di gunung-gunung.(*)