Jalan Terjal Meretas Sengketa
Bagai benang kusut. Sengketa Kebondalem Purwokerto dari pergantian rezim ke rezim tidak pernah berakhir sampai pada titik final penyelesaian persoalan. Titik akhir seperti apa? Titik akhir itu adalah mengembalikan hak pengelolaan kawasan Kebondalem kepada Pemkab Banyumas supaya bisa kembali menjadi kawasan yang siap dibangun sebagai pusat keramaian kota sebelum terjadi peristiwa sengketa.
Bagaimana sebenarnya sengketa ini bermula?
Merangkum dari berbagai sumber, bahwa permasalahan sengketa Kebondalem Purwokerto diawali dari munculnya kerjasama antara Pemkab Banyumas pihak kedua. Kerjasama itu memunculkan perjanjian yang terbagi dalam tiga tahap. Pertama, perjanjian tanggal 22 Januari 1980, perjanjian tanggal 21 Desember 1982, dan perjanjian tanggal 7 Maret 1986.
Dalam perjanjian tanggal 22 Januari 1980 dan 21 Desember 1982, Pemkab Banyumas bekerjasama dengan PB Bali CV untuk membangun rumah toko (ruko) sebanyak 51 unit. Adapun dalam perjanjian tanggal 7 Maret 1986, Pemkab Banyumas bekerja sama dengan PT GCG. Baik PT GCG maupun PB Bali CV, pemiliknya sama. Dalam perjanjian tahun 1986 itu, pihak kedua akan membangun taman hiburan rakyat, pertokoan, perkiosan dan tempat parkir.
Selesai sudah perjanjian ketiga tersebut. Lantas, bibit persoalan muncul tatkala hak pengelolaan selama 30 tahun atas tanah Kebondalem Purwokerto dari dasar perjanjian tahun 1980 dan 1982, berakhir pada tahun 2012 dan 2014. Selesainya perjanjian itu dihitung dari jangka waktu 30 tahun, ditambah dua tahun pelaksanaan pembangunan. Tetapi, Pemkab Banyumas tidak dapat menguasai kembali 51 unit ruko yang dibangun atas dasar perjanjian pada tahun 1980 dan 1982.
Gugatan Pemkab Banyumas atas pengelolaan Kebondalem Purwokerto dilancarkan. Pada Februari 2008, Pemkab Banyumas kalah dalam persidangan perdata atas gugatan PT Graha Cipta Guna (GCG). Pengadilan Negeri Purwokerto juga mengharuskan Pemkab Banyumas membayar Rp 26 miliar kepada PT GCG selaku pengembang kawasan Kebondalem Purwokerto.
Dalam artikelnya pada 8 februari 2008, kompas.com menyebutkan,
Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Banyumas, Achmad Supartono menyatakan, pihak Pemkab sudah langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang yang didaftarkan melalui PN Purwokerto.
“Kami sudah mengajukan banding atas kasus ini karena kami menganggap ada beberapa hal yang diabaikan hakim,” kata Supartono dikutip laman kompas.com.
Dalam amar putusan PN Purwokerto yang ditetapkan pada Rabu (6/2) kemarin, Ketua Majelis Hakim Sudiarto menyatakan PT GCG berhak menerima ganti rugi Rp 24 miliar untuk bangunan yang terbengkalai, ditambah uang paksa Rp 1 juta per hari dan ganti rugi imateriil sebesar Rp 2 miliar.
Gugatan itu sendiri disebabkan oleh adanya kebijakan menempatkan pedagangan kaki lima (PKL) di sekitar kawasan Kebondalem pada 1987 lalu oleh Bupati Banyumas Roedjito yang menjabat saat itu. Padahal antara Pemkab Banyumas dengan PT GCG telah menandatangani kesepakatan kerjasama pada tahun 1986, untuk mengembangkan kawasan Kebondalem sebagai kawasan usaha di atas lahan seluas 20.367 meter persegi atau 20 hektar.
Atas dasar itu, majelis hakim menilai Pemkab Banyumas telah melanggar perjanjian. Karenannya Pemkab Banyumas harus memberikan ganti rugi kepada PT GCG. Namun, menurut Supartono, dalam putusan tersebut hakim telah mengabaikan keberadaan PKL yang sudah berdagang di kawasan Kebondalem sejak tahun 1985.
“Jadi permasalahannya sekarang ini, PT GCG mengklaim pengelolaan kawasan Kebondalem yang dimulai tahun 1987 itu telah dilanggar oleh Pemkab, karena menempatkan PKL berdagang di kawasan itu. Padahal PKL itu sendiri sudah ada sejak tahun 1985,” katanya Supartono masih dikutip dari laman portal sama.