FOKUS – Polresta Banyumas memastikan bahwa lembaganya telah memanggil berbagai instansi terkait untuk dimintai keterangan mengenai kasus dugaan pelanggaran dalam proyek perumahan Sapphire Mansion di Purwokerto. Pemanggilan ini menyusul adanya aduan dari pembeli perumahan tersebut.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polresta Banyumas, Kompol Andriansyah Rhitas Hasibuan, menjelaskan bahwa pemanggilan terhadap sejumlah instansi terkait dilakukan berdasarkan laporan dari warga yang menjadi pembeli Sapphire Mansion.
“Semuanya sudah dipanggil, karena informasi awal kami memang berasal dari pihak pengadu,” kata Kompol Andriansyah pada Kamis (10/6).
Ia menambahkan, ada empat hingga lima penghuni rumah yang melaporkan kasus ini. “Penghuni rumah yang melapor ke kami ada empat orang, dan terkait itu, kami sudah mengundang semua dinas terkait serta pihak perbankan,” jelasnya.
Kasus ini mencuat setelah Hendy Wahyu Saputra, salah satu pembeli unit di Sapphire Mansion, mengadukan pihak pengembang ke Polresta Banyumas pada 12 Maret 2024. Aduan ini terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Perbankan.
Meskipun aduan tersebut belum naik status menjadi laporan polisi, Unit II Satreskrim Polresta Banyumas telah menindaklanjuti dengan memanggil beberapa instansi.
Instansi yang disebut telah dipanggil antara lain Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepala Desa setempat, serta pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) selaku pemberi pembiayaan.
Hendy Wahyu Saputra menegaskan akan terus mendorong penyelesaian kasus ini melalui jalur hukum karena merasa dirugikan sebagai konsumen.
“Kami berharap aparat penegak hukum bisa segera menindaklanjuti kasus yang sudah jelas telah merugikan saya pribadi maupun warga lain sebagai konsumen,” tegasnya.
Sebelumnya, permasalahan di Sapphire Mansion terungkap setelah salah satu unit rumah yang dibeli Hendy tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), padahal IMB adalah syarat utama dalam proses pembangunan. Ketidaksesuaian ini juga meliputi legalitas dokumen dan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sertifikat lahan bahkan diketahui terdaftar untuk peruntukan rumah sederhana, tidak sesuai dengan spesifikasi bangunan mewah yang dijual.
Hendy membeli rumah tersebut atas nama istrinya, Tri Afiyani, pada tahun 2019 dengan nilai transaksi Rp 809.900.000 melalui KPR di BRI. Namun, saat Hendy mengajukan permohonan tambahan pembiayaan, pihak bank menolak karena rumahnya tidak memiliki IMB. “Kami sangat heran, bagaimana bisa pihak bank meloloskan KPR tanpa adanya IMB? Ini sangat janggal,” ujar Hendy pada 15 April 2025. (Angga Saputra)