INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

Dugaan Kekerasan Seksual di Kampus UIN Zaisu Purwokerto, Satgas Kampus Dinilai Tidak Objektif

Dugaan Kekerasan Seksual di Kampus UIN Zaisu Purwokerto, Satgas Kampus Dinilai Tidak Objektif

Ilustrasi/indiebanyumas

Rabu, 20 Agustus 2025

FOKUS – Dugaan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) kembali mencuat di lingkungan perguruan tinggi di Purwokerto yaitu di UIN Zaisu. Seorang tenaga pengajar diduga melakukan pelecehan terhadap sejumlah mahasiswinya. Dari sedikitnya empat korban, baru satu orang yang berani melaporkan kasus ini secara resmi.

Menurut penjelasan kuasa hukum korban, Esa Caesar Afandi, dugaan kekerasan seksual tidak selalu berupa hubungan badan, tetapi juga bisa dalam bentuk ancaman, sentuhan, pelukan, ciuman, hingga perabaan di area sensitif.

“Bagi terduga pelaku mungkin dianggap hal biasa, tapi bagi korban ini adalah ancaman serius yang menimbulkan trauma mendalam,” ujarnya.

Ia mencontohkan modus ancaman yang digunakan pelaku, yakni menekan korban dengan iming-iming nilai akademik maupun kelancaran penyusunan skripsi. Kondisi ini kian berat karena korban berada dalam posisi relasi kuasa yang timpang, di mana pelaku adalah dosen sekaligus pembimbing akademik.

“Ironisnya, korban yang melaporkan kasus ini adalah mahasiswi yang menjadi penanggung jawab kelas. Mentalnya drop, bahkan sampai terganggu karena tekanan dan perlakuan tersebut,” jelasnya.

Esa tersebut juga menyoroti kinerja Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi. Menurutnya, banyak satgas tidak objektif ketika pelaku berasal dari internal kampus.

“Mereka cenderung menyelesaikan secara internal di meja birokrasi. Padahal, TPKS adalah tindak pidana yang harus dibawa ke ranah hukum,” tegasnya.

Esa menambahkan, meski ada sanksi internal kampus seperti skorsing, mekanisme tersebut dinilai tidak transparan dan tidak memberi efek jera.

“Kenyataannya, proses hukum jarang ditempuh. Kampus lebih melindungi tenaga pengajar dibandingkan mahasiswi korban kekerasan,” katanya.

Sebagai pengingat, masa daluarsa perkara TPKS cukup panjang, yakni 6 hingga 20 tahun. Artinya, laporan korban tetap memiliki kekuatan hukum sepanjang belum melewati tenggat waktu tersebut.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah keberpihakan kepada korban. Luka batin akibat kekerasan seksual tidak sembuh dalam hitungan minggu, bahkan bisa terbawa hingga dewasa dan berkeluarga. Empati dan keberanian menegakkan hukum adalah kunci,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen terhadap mahasiswinya kembali mencuat di lingkungan kampus. Kali ini peristiwa itu terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Prof K.H. Saifuddin Zuhri (Saizu) Purwokerto.

Korban, mahasiswi Fakultas Dakwah berinisial A (23), mengaku mengalami pelecehan hampir sepanjang tahun 2024. Setelah menahan derita batin, A akhirnya berani bersuara dan melaporkan peristiwa tersebut ke Polresta Banyumas dengan didampingi kuasa hukumnya.

Satgas PPKS UIN Saizu Tegaskan Kasus Telah Ditangani Sesuai Prosedur

Kampus UIN Saizu. (Foto : FB UIN Zaisu)

Sebelum laporan resmi ke kepolisian, penanganan awal telah dilakukan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UIN Saizu. Satgas menerima laporan dari korban dan segera melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak, termasuk korban sendiri.

“Sudah selesai di tingkat kampus,” ujar Ketua Satgas PPKS UIN Saizu, Dr. Hj. Ida Novianti, M.Ag, saat dikonfirmasi pada Rabu (20/08/2025).

Dr. Ida Novianti, menegaskan bahwa dugaan kasus kekerasan seksual yang kembali mencuat ke publik merupakan kasus lama yang telah ditangani sesuai prosedur institusi.

Dirinya juga menyampaikan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2024 dan dilaporkan secara resmi oleh korban pada 16 Oktober 2024. Menindaklanjuti laporan tersebut, Satgas PPKS segera menjalankan mekanisme penanganan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku.

“Satgas memanggil korban, terduga pelaku, serta saksi-saksi. Setelah itu, kami menyusun berita acara yang diserahkan kepada rektor. Berdasarkan dokumen tersebut, rektor membentuk komisi etik untuk menindaklanjuti kasus,” jelas Dr. Ida, Rabu (20/8/2025).

Ia menambahkan bahwa komisi etik telah menyelesaikan tugasnya dengan memberikan rekomendasi sanksi, yang kemudian ditindaklanjuti oleh rektor melalui Surat Keputusan (SK) tertanggal 16 Januari 2025.

“Pelaku telah menerima sanksi etik sesuai rekomendasi komisi etik. Dengan demikian, secara institusional, kasus ini telah dinyatakan selesai,” tegasnya.

Meski sanksi etik telah dijatuhkan, Dr. Ida menekankan bahwa korban memiliki hak penuh untuk melanjutkan proses hukum. Ia menegaskan bahwa Satgas PPKS mendukung langkah korban sebagai bagian dari hak konstitusional yang tidak dapat diintervensi oleh pihak kampus. (Angga Saputra)

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Pemkab Banyumas Luncurkan 26 Aksi Perubahan untuk Pelayanan Publik Lebih Baik

Selanjutnya

PMI Banyumas Salurkan Plasma untuk Fraksionasi ke Korea Selatan

Selanjutnya
PMI Banyumas Salurkan Plasma untuk Fraksionasi ke Korea Selatan

PMI Banyumas Salurkan Plasma untuk Fraksionasi ke Korea Selatan

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com