Dan sampailah kau di telaga senja yang menjadikanmu sebagai ranting-ranting patah oleh buih angin yang meniup walau pelan. Seperti misalnya bila kau tengah dirundung lara, merindukan aku yang terlalu sering berkorban untukmu walau debur cintamu bukan aku yang rasakan.
Sakit, memang. Tapi bagiku berkorban untukmu adalah sebuah kesibukan yang paling menyenangkan. Sebab sedetik dekat denganmu, hanya sedetak debar jantungmu yang kurasa, bagiku itu adalah hal sepeleh yang menenangkan.
Walau di setiap detak jantung itu kau memanggil nama yang lain. Tak peduli aku di sebelahmu.
Dan sampailah kau di telaga senja yang nestapa. Saat kekasihmu yang sekarang begitu angkuh menciptakan riak hujan di bola matamu, begitu keji menutupi bahagiamu. Begitu ego untuk tak peduli pada sedihmu. Dan kau merindukan bau badanku, mulai mencari jejak parfumku yang mungkin kau pikir masih menempel di setiap helai benang bajumu, merindukan gerai rambutku, seolah-olah kau tak sabar menjambak rambutku sebagai cengeng yang paling suka kau buat padaku saat itu.
Aku menyodor sesendok bakso ke arah mulutmu, tepat saat kau ingin melahapnya lalu aku sengaja memasukkannya ke mulutku sendiri dan kau membalas dengan lekuk bibir yang membentuk cemberut-cemberut manja. Kau mengenang hal gila itu sebagai romantis yang tak akan kau dapatkan lagi. Sebab bersamanya kau tak akan mengulanginya lagi.
Nyatanya bukan kau kan yang dia ceritakan sebagai kesayangan. Kau hanya raga yang dianggap ikhlas telah siapkan hati dan telinga untuk mendengar ceritanya, tentang segala sedih dan prestasi yang diraihnya sendiri tanpa peduli bagaimana perasaanmu sendiri. Kau berbicara tapi tak didengar, kau bersuara tapi telinga di sekitarmu sedang menikmati tuli yang sengaja.
Dan sampailah kau pada rindu yang tak berbalas. Saat kau sadar aku sudah bukan untukmu lagi. Sudah kubiarkan kau bahagia dengannya sebagai pilihan terburukmu sendiri. Di sini aku mengurus bahagiaku dengan makan tepat waktu menyiapkan tenaga untuk menerima cinta yang baru, minum kopi paling pahit tanpa kububuhkan gula. Sebab aku selalu seperti hidupku yang tak pernah dengan kejam menghina rasa pahit. Itu. Itu kebiasaanku saat mengenalmu dulu yang terbawa sampai sekarang menjadi sebuah kebiasaan kecil. Sebab bagiku manis semanis-manisnya kopi yang dicampur gula tetapi manis sesungguhnya adalah seorang gadis yang aku dambakan saat itu. Ya kamu. Satu-satunya hanya kamu yang aku dambakan sebagai kesayangan walau melepasmu sebagai sebuah kerelaan yang paling berat.
Rindumu tak lagi kubalas.
Biasanya aku yang selalu pertama bilang rindu padamu. Tapi maaf! Itu dulu.
Bukan sekarang…!!!
Dan sampailah kau pada sebuah kesepian paling patah saat merindukan riuh suara tawa kita. Sampai-sampai ibu kos-mu mengusirku saking terlampau ributnya aku di beranda kosanmu saat mengunjungmu setiap malam minggu yang tak sadarkan diri sampai dini hari. Kau merindukan larut malam yang ramai di antara sunyi saat berdua denganku.
Sekarang kau begitu merindukanku sampai karbondioksida mengendap nyaman begitu lama menjadi kesesakan di dalam dadamu.
Maaf, tangismu bukan urusanku lagi. Bahagiaku jangan jadi sedihmu. Seperti apapun kau sekarang, seingatku kau selalu bahagia. Sebab dia yang kau pilih bukan aku.
Di sana tidurlah bersama sedihmu, di sini aku memastikan hati yang paling ikhlas tanpa takut binasa untuk menemukan cinta yang setia dengan seseorang yang aku tunggu-tunggu. Intinya bukan kau. Aku sudah memutuskan untuk tak mau sibuk dengan menghubungimu lagi, linimasaku di beranda media sudah penuh dengan kenalan baru yang menciptakan bahagia bersamaku dengan begitu mengharu biru tanpa peduli emoticon jantung merah dan jempol biru yang kau sengaja bubuhkan di setiap postinganku untuk memancing hasratku menghubungimu lagi. Tidak. Aku tidak mungkin melakukan itu lagi.
Sudah kupastikan diri untuk bekerja tekun setekun-tekunnya, berpikir fokus sefokus-fokusnya sampai pada sukses yang sesukses-suksesnya aku menjadi sebuah penyesalan yang paling deras meruntuhkan keputusanmu sendiri kala memilih pergi.
Sekarang. Selamat menikmati penyesalanmu sendiri.
Bila kau sudah memiliki momongan yang rewel kadang bawel tapi manja semanja-manya kamu denganku dulu, jangan lupa perkenalkan dia denganku. Ceritakan padanya bahwa ada seorang Pemuda yang begitu patah kala kehilanganmu dulu dan begitu bahagia saat mengikhlaskanmu sekarang.
Selamat menikmati lukamu di antara barisan gelanggang kenang yang tengah tergenang. Walau dengan siapapun kau bersanding sekarang, bagiku kau pernah menjadi yang tersayang.