Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Pada elite yang keparat, terdapat rakyat sekarat. Maka, di negara autis, berkembanglah politisi autis. Ternak ini makin panen pasca reformasi. Tak percaya? Lihatlah konfigurasi dalam cerita di bawah ini.
Kalau tak salah, Prabowo cawapresnya Megawati (Pilpres 2009), Fadili Zon itu juru kampanye Jokowi Ahok dengan baju kotak-kotak di Pilgub DKI 2012.
Anies itu tim sukses Jokowi-JK plus mantan menteri pendidikan. Sebelumnya Anies pemenang konvensi capres Demokrat, partainya SBY. Dulu, SBY menterinya Mega, maju nyapres bareng JK dengan didukung penuh Surya Paloh. Lalu, Suryo Paloh mesra banget sama Mega, seraya menjauhi SBY.
Pilpres sebelumnya giliran JK nyapres bareng Wiranto melawan SBY-Boediono yang didukung Ical. Lalu, kini Ical temenan ama Prabowo yang dulu kompetitornya di Pilpres 2009, dan lucunya temenan juga sama Rachmawati, musuh besar pengusaha dan para militer.
Partai-partai yang mereka buat kini jadi milik keluarga, mirip perusahaan. Bicara demokrasi tetapi menjalani aristokrasi. Mengaku bermoral tapi KKN tertradisi. Jadi, mengapa ini terjadi?
Tentu ini jenis pertanyaan paling sulit yang pernah mampir pada diskusi-diskusi ahli politik dalam terminologi postkolonial. Sebab, tanpa kita sadari, berpuluh anak haram reformasi lahir tanpa tujuan. Mereka adalah salah satu dari jenis produk haram reformasi: yang khas dan autis.
Apa itu politisi autis? Autis berasal dari kata auto yang bermakna “hidup dalam dunianya sendiri.” Dus, autisme adalah cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri; ia menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri sambil menolak realitas. Penyandang autis akan berbuat semaunya sendiri, baik cara berpikir maupun berperilaku.
Politisi autis mengidap rasa tak ada yang dipercaya, tak ada orang baik, tak ada pertemanan, tak ada norma, tak ada ideologi bahkan agama, Tuhan dilawannya.
Ciri utama autisme politik adalah mengerjakan apa yang tak dibicarakan dan membicarakan apa yang tak dipikirkannya serta memikirkan sesuatu tanpa nalarnya (disorder). Ia bicara apa saja dan terus menerus serta berulang-ulang tanpa tujuan sehingga susah dipahami orang sekitarnya.
Politisi autis mengaku bertuhan tapi bermewah-mewahan; mengaku berkemanusiaan tapi selingkuh; mengaku berpersatuan tapi memperkosa; mengaku bermusyawarah tapi merampok, mengaku berkeadilan tapi menjajah. Singkatnya mengaku berpancasila tapi mengkhianatinya.
Lihatlah para jendral, anggota dpr-mpr, para rektor, pejabat dan para hakim-jaksa. Semua elite kini berlomba berburu harta dan bermegah-megahan. Padahal, andai mereka diberi satu lembah penuh dengan emas, mereka tentu ingin lagi yang kedua. Jika diberi yang kedua, mereka ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain mati masuk tanah.
Tentu saja mereka tidak hidup sendirian. Hampir 90% politisi kita mengidap autisme: menjauihi realitas dan hidup dalam dunia abnormal. Mereka tak akan mampu membenahi lingkungannya apalagi menjadi subjek yang menyelesaikan problem masyarakatnya: sebab mrk sendiri adalah problem.
Autisme politik ini sangat geneologis: gen dan turunan dari politisi-politisi sebelumnya. Maka, kita bisa saksikan bahwa gangguan spesifik pada perkembangan otak dan sarafnya (sistem dan kultur sebelumnya) berpengaruh pada tindakan-tindakannya. Ia lahir dari moneycrazy dan transaksi yang anti norma dan anti nalar.
Akibatnya, menurut teori medis dan penelitian pemetaan otak yang mempelajari penyandang autisme, koneksi antara bagian-bagian otak mengalami kekacauan atau menjadi hipersensitif. Tidak nyambung antara kultur (KKN), sistem (patronase), idealisme (solo karir) dan harapan-harapan (konstitusi).
Koneksi yang kacau atau hipersensitif tersebut mengakibatkan para politisi autis tiba-tiba merasakan respons emosional berlebihan saat melihat objek atau kejadian yg sepele. Mungkin inilah alasan para politisi autis menyukai rutinitas dan sangat marah jika terjadi perubahan yang tak sesuai seleranya. Terlebih, rutinitas memberi mereka pola perilaku yang tidak memancing respons emosional yang berlebihan.
Sayangnya, rutinitas kita kini adalah “gotong nyolong, KKN, ekonometrika, daulat modal serta monoterisme.” Bukan hal-hal positif dan konstitusional. So, nikmatilah kini banjir politisi autis dan anak-anak haram berikutnya yang “tidak tak terpikirkan” dari gelombang reformasi kedua.
Gelombang kegilaan yang membuat di tanah air ini semua ilmu, mati. Semua kesaktian gagal. Semua agama melacur. Semua idealisme tersungkur. Semua gagasan terbeli (murah). Yang tersisa hanya “keberuntungan autisme yang tak otentik.”(*)