Pro Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
ADA yang belum dituntaskan dari ikrar proklamasi. Ada yang masih bercokol kuat paska dentum kemerdekaan. Ada yang membabi buta pasca 78 tahun kita bernegara pancasila. Apa itu? Mental kolonial.
Ia ada di mana saja. Ia membatu bersama manusia indonesia. Bahkan saat bertrilyun detik aku hibahkan waktuku untuk merumuskan anti tesanya. Saat bermilyar menit aku wakafkan kejeniusanku untuk menuliskan teorama psikohermenetika. Saat berjuta jam aku hadiahkan tulisan, riset dan buku-buku tentang mental konstitusionial dan ekopol pancasila. Tetapi yang kuterima balasan keacuhan pembaca dan kecongkakan warganegara Indonesia serta kebencian elitenya.
Tuan/puan yth, kini kuberikan jiwa ragaku buat kalian. Tetapi kalian tuli, buta dan budek juga. Maka, kepariaan ini harus diakhiri. Merdeka atau mati. Menang atau bayi kembali. Itulah takdirNya.
Ya. Sampai hari ini, menurut riset yang kami lakukan, ditemukan ada 35 mental kolonial sebagai penghambat kemajuan Indonesia. Tetapi dari 35 mental tersebut ada lima besar yang akan kita bahas.
Pertama, mental inlander. Yaitu sikap takut, memuja, takjub dan minder terhadap bangsa asing. Inilah induk dari mentalitas kolonial yang menjangkiti hampir semua elite kita. Sikap inilah yang membuat UU kita sering berpihak ke asing daripada warga sendiri. Berbagai tindakan pejabat pemerintah kita lebih memihak penjajah dan orang lain tergambar jelas di mana saja.
Kedua, mental instan. Akibat langsung dari inlanderisme ini manusia indonesia mengembangkan kelakuan instan. Yang penting hasil sambil melupakan proses. Impor dalam segala hal, menyontek, pergi ke dukun, korupsi, nyogok dan money politic adalah bukti tak terbantahkan menjamurnya karakter instan. Bahkan makanan terlaris di republik indonesia juga bernama instan: mie instan dll.
Ketiga, mental dendam. Mental ini lahir karena keinginan cepat kaya, cepat berkuasa dan cepat terkenal tak mudah didapatkan maka ketika dapat, ia mendendam dari masa ketika miskin, tuna kuasa dan tidak dikenal. Balas dendam itu dikerjakan dengan menumpuk harta, memegang kekuasaan dengan segala cara (nepotisme). Tak ada perkaderan dalam karirnya, tak ada pemerataan dalam ekonominya. Maka, yang terjadi adalah gaji tinggi tapi minim prestasi.
Keempat, mental melupa. Tentu saja, siapa punya tingkah dendam akan lupa. Proses melupa ini khas warga negara postkolonial. Karena itu problem negara-negara postkolonial adalah “membariskan ingatan melawan lupa.” Warga negara post kolonial mengidap pendek ingatan dan menjadi kawanan penjejer luka dan lupa. Sebelum berkuasa, ia berjanji apa saja. Begitu berkuasa, ia bekerja melupakan janji-janjinya.
Kelima, mental miopik atau rabun. Ia tak mampu melihat “sejarah masa lalu dan strategi masa depan.” Yang ada dalam pikirannya: kalau bisa diperlambat kenapa dipercepat; kalau bisa impor kenapa harus berproduksi. Karena rabun, ia tak kuat iman. Sebab iman adalah soal jauh di akherat. Karena rabun, ia tak takut dosa. Sebab dosa adalah soal eskatologis. Ciri utama rabun adalah tak terima perdebatan-perdebatan sehat, jadi fundamentalis dalam segala hal.
Mendapati lima mental kolonial dan menghancurkannya kini menjadi tugas kita bersama. Begitulah. Siang malam kita harus selalu mencariNya. Karena Allah membagi-bagi rizki buat hambanya antara subuh dan terbitnya matahari demi lahirnya mental petarung.
Saat lengah dan sakit, kita harus selalu menyebut namaNya. Karena Allah menunggu doa para hamba yang mencari cinta di sepanjang usia demi lahirnya mental bijaksana. Dan, saat berkuasa atau menang, kita harus selalu meyakinkan diri bersujud menangis. Karena Allah menyusun nasib hambanya antara kebahagiaan dan kesusahan demi lahirnya mental juara.(*)